phrrinchwe

Benar saja Jeon Wonwoo sudah ada tepat di depan Apartement miliknya, tentu dibantu Hoshi. Karena jalan saja laki-laki itu tak mampu, bagaimana bisa sampai ke Apartement Yerin dengan keadaan mabuk parah.

“Gue serahin ke lo, terserah lo mau apain ini anak. Lo mau geletakin dia disini aja juga gapapa, itu pun kalo lo tega. Gue pamit ya…” Hoshi menepuk kecil pundak Yerin setelah menggeletakan Wonwoo begitu saja di depan pintu Apartement milik Yerin.

Yerin meringis kesal, jangankan tega meninggalkan Wonwoo di depan pintu Apartement, gadis itu melihat Wonwoo sakit saja tidak mampu.

6 bulan dirinya menahan mati-matian tak mencari tau kabar sang mantan kekasih, menyibukkan diri dengan berbagai jadwalnya yang juga padat ternyata tak mampu mengikis cinta yang sudah bersemayam lama dalam hatinya.

Seberusaha keras apapun Yerin memangkas habis perasaannya, nyatanya Wonwoo tetap ada di dalam lubuk hati terkecilnya.

Perasaan itu tetap ada dan sama, tak pernah mengurang hanya terus bertambah.

“Ck, Jeon Wonwoo.” desisnya sembari mengangkat tubuh Wonwoo yang jauh dua kali lipat lebih besar dari tubuhnya, menuntun laki-laki itu masuk ke dalam Apartementnya, Apartement yang sudah tidak asing juga untuk Wonwoo.

Yerin merebahkan tubuh Wonwoo diatas kasur miliknya, melepaskan coat serta sepatu yang dikenakan oleh Wonwoo.

Sementara Wonwoo terus saja meracau tak jelas, efek alkohol yang banyak di minumnya membuat laki-laki itu setengah sadar.

“Pacarku… kamu pacarku kan?” racau laki-laki itu menunjuk-nunjuk wajah Yerin yang tengah membantu membenarkan posisi tubuh mantan kekasihnya.

Wonwoo menarik tangan Yerin, menciumnya terus-terusan membuat gadis itu kelimpungan sendiri. “Aku minta maafff… maaf ya? maaf… aku salah… tapi jangan putus… aku— aku gak mau rin…” rengek Wonwoo seperti anak kecil.

Kata orang kalo kamu mau mendengar sebuah kalimat jujur, maka lihatlah perkataan orang yang sedang mabuk, disanalah kamu bisa mendengar sebuah kejujuran yang sesungguhnya.

Siapa yang tak terenyuh mendengar kalimat yang baru saja dikatakan oleh seorang Jeon Wonwoo?

Tapi Yerin hanya bisa diam, terlalu mahal untuk Yerin menurunkan gengsinya sendiri. Padahal ia tau jika dirinya sama merasakan tersiksanya bagaimana jauh dari laki-laki dihadapannya.

Melihat Yerin yang hanya diam tak merespon ucapannya, Wonwoo melepaskan genggaman tangannya tadi.

Beralih menutupi wajahnya dengan tangannya sendiri, suara isakan tangis yang ditahan Wonwoo terdengar di daun telinga Yerin. Meskipun samar, gadis itu tau Wonwoo tengah menangis.

Yerin tidak pernah melihat sisi Wonwoo yang sefrustasi ini di depannya sendiri. Sebegitu berharganya kah Yerin untuk seorang Jeon Wonwoo? sampai harus merelakan air matanya menggenang di pelupuk mata rubah miliknya.

Sisi Wonwoo yang di bangun sangat terlihat dingin, cuek, dan tidak romantis justru runtuh ketika sudah berada di depan Yerin.

Nyatanya sisi Wonwoo yang clingy, manja, posesif, penyayang dan romantis hanya ia perlihatkan pada gadis bermarga Jung tersebut.

Yerin hendak beranjak pergi, namun pergerakannya di baca Wonwoo. Kembali tangannya ditahan oleh Wonwoo, “Jangan tinggalin aku…” ucapnya terdengar parau.

“Aku mau ambil air putih buat kamu…” Yerin berusaha melepas genggaman tangan Wonwoo pelan.

“Aku nggak mau air, aku mau kamu… disini…” lagi-lagi sebuah kalimat mujarab berusaha Wonwoo keluarkan untuk meluluh lantahkan kerasnya Yerin yang berusaha memberi batas untuknya sendiri.

“Please… i want you as my special gift for my special day…”

Kali ini Wonwoo pasrah ketika genggaman tangannya kembali Yerin paksa lepas, meskipun lembut Yerin melakukannya.

Tangan Yerin kini beralih pada tangan kanan Wonwoo yang masih menutupi wajah sembabnya.

Wonwoo menurut, membiarkan gadisnya itu melihat wajah memalukannya. Memalukan bagi Wonwoo karena laki-laki itu tak bisa menahan tangisnya.

Yerin menghapus jejak air mata Wonwoo, menatapnya dengan senyum tipis sampai akhirnya gadis itu memeluk erat Wonwoo.

“I’m already yours Jeon Wonwoo…” bisiknya lembut, membuat laki-laki bermagra Jeon itu tertawa tersenyum serta mempererat pelukan keduanya.

“Aku sayang kamu rin…”

“Aku juga nu…”

“Jangan pernah putusin aku lagi…” lirih Wonwoo terdengar sendu mengatakannya.

“Nggak janji” ucap Yerin tidak benar-benar serius mengatakannya.

“Ck, rin…” Wonwoo menangkup pipi Yerin, menatap gadis itu kesal, mencari kebenaran dalam manik cantik mantan kekasihnya itu. Oh, ralat. Resmi sudah menjadi kekasih kembali.

“Bercanda wleee” ledeknya.

“Gak boleh bercandain hal kayak gitu!” protes Wonwoo mencubit pipi Yerin gemas.

“Awwww ishh!!!” Yerin menepuk dada Wonwoo kencang sebagai balasan karena kekasihnya itu mencubit kedua pipi Yerin tanpa izin.

Dengkuran halus menggangu tidur Wonwoo, bukan kesal yang ia perlihatkan sebaliknya Wonwoo tersenyum lembut saat dirinya menatap seorang disamping kanannya yang masih pulas tertidur.

Wonwoo membelai lembut surai hitam pekat kekasihnya, merapihkan beberapa helaian rambut yang menutupi wajah putih susu kekasihnya itu.

Tadi malam merupakan malam yang cukup panjang bagi Yerin dan Wonwoo, dibalik hari special Wonwoo tuhan kembali memberikannya kesempatan untuk memperbaiki hubungannya dengan Yerin.

Tanpa perlu permisi, benda merah muda itu Wonwoo kecup berkali-kali membuat sang emounya terusik.

Yerin melenguh, matanya menyipit belum siap dengan sinar matahari yang masuk menyeruak indera penglihatannya.

Melihatnya, Wonwoo tertawa kecil. Menurut laki-laki itu, gadisnya bisa 10 kali lipat lebih cantik saat bangun tidur.

“Good morning, sayang…” sapa Wonwoo dengan suara khas bangun tidurnya, kembali benda merah muda itu Wonwoo jamah tanpa permisi.

“Morning too…” balas Yerin.

Wonwoo memberikan ekspresi wajah tak suka, membuat Yerin mengerutkan dahinya bingung.

“Kenapa? kok ekspresi kamu gitu?”

“Sayang.” jawabnya singkat, sementara Yerin masih tidak mengerti maksud Wonwoo.

Wonwoo menghela nafasnya berat, “Sayangnya mana?” tagih laki-laki itu.

Yerin tertawa dibuatnya, hal seperti ini yang Yerin maksud. Sisi Wonwoo yang terkadang kelewat clingy yang jarang atau mungkin orang lain tidak pernah tau di balik image coolnya itu Wonwoo ternyata punya sisi yang seperti ini yang hanya di perlihatkannya pada Yerin, kekasihnya.

“Morning too sayangggg~”

Wonwoo tersenyum puas setelah mendengarnya, kembali laki-laki itu menyantap benda merah muda yang kali ini tak ia biarkan hanya di kecupnya. Baiklah, Yerin paham akan berakhir seperti apa kegiatan pagi mereka ini.

Yerin bersyukur, hubungan keduanya kembali diberi kesempatan meskipun berkali-kali Yerin terus menyangkalnya. Pada akhirnya hubungan mereka bukanlah ada di kendali siapa-siapa, dan perlu persetujuan siapa-siapa.

Keduanya adalah sama seperti manusia biasa, yang layak untuk jatuh cinta. Tak peduli seberapa buruk hubungan keduanya di pandang, yang menjadi pemeran utama tetaplah Wonwoo dan Yerin.

“I'd hold you tighter, Closer than ever before.”

Juna sudah sampai di rumah milik Arin sejak 10 menit yang lalu. Tak ada pelukan, tak ada sambutan hangat dari sang tuan rumah. Hanya tatapan sendu yang Arin perlihatkan di manik cantik miliknya.

Juna masih berusaha mencari atmosfer positive, tidak ingin menyia-nyiakan waktunya dengan Arin terbuang percuma, apalagi dengan keadaan mereka yang rumit sekarang.

Arin masih juga diam, membiarkan laki-laki itu untuk membuka ruang obrolan. Arin hanya memainkan jentik jarinya, tubuh gadis itu tegap namun terlihat tegang jika lekat diperhatikan.

“Aku minta maaf, aku belum bisa nemuin solusi terbaik untuk masalah ini…” Juna terlihat menarik nafasnya panjang sebelum mengatakan hal tersebut. Hal yang sudah Arin sempat duga.

Entah, rasanya begitu sesak untuk Arin mendengar jawaban dari Juna yang tak memberikan impresi melegakan setelah pekan lalu yang nyatanya tak memberikan perubahan.

“Kata lain dari putus…” Arin menatap Juna yang tertunduk duduk disampingnya.

“Bukan, bukan begitu maksud aku rin…” Juna balik menatap si cantik, dengan semua rasa bersalah yang ada pada dirinya.

“Kamu mau kita tetep sama-sama, sementara aku harus terus dihadapkan dengan rasa khawatir dengan hubungan kita. Ini gak adil buat aku Jun…” Arin menahannya sedari tadi, air mata yang ia simpan rapat-rapat. Arin tidak ingin larut dalam tangisnya, itu hanya membuat perasaan gadis itu semakin memburuk. Kali ini gadis itu tidak menangis, melainkan menahannya mati-matian.

“Aku tau ini berat untuk kamu rin…”

“Aku minta maaf…” lirih Arjuna terdengar sangat tulus Arin rasakan. Entah sudah berapa kali Juna mengatakan kalimat ‘Maaf’ padanya, yang masih tak membuahkan hasil.

“Kamu nggak mau kasih tau aku siapa perempuan itu?” Suara Arin terdengar bergetar, Juna tau gadisnya menahan mati-matian tangisnya agar tak tumpah.

Arjuna diam, seolah bibirnya kelu tak mampu menjawab pertanyaan sang kekasih. Bahkan membayangkannya saja Juna tak sanggup, akan sesakit apa nantinya Karin.

“Kamu tuh lagi mempertahankan hubungan kita atau cuma menunda perpisahan aja sih Jun???”

Kalimat yang makin membuat Juna sesak kala gadisnya mempertanyakan hal yang bahkan Juna mungkin tidak bisa menjawabnya.

“Kasih tau aku siapa orangnya Arjuna, siapa ibu dari bayi yang harus kamu pertanggung jawabkan. Aku capek kalo harus nunggu kamu, aku cuma mau pastiin perempuan itu juga baik untuk kamu, mungkin aku akan lebih ikhlas bisa ngelepas kamu Arjuna…”

Pahit memang, namun kalimat barusan memang mantap Arin keluarkan begitu saja. Arin hanya butuh kepastian dari semua kejadian ini, bila baiknya adalah berpisah maka Arin siap melepaskan Arjuna.

“Kasih aku waktu sedikit lagi ya? kamu mau kan?”

Juna meraih pergelangan tangan Arin, mengelusnya lembut. Arin masih melihat cintanya, cinta Juna yang besar untuknya.

“Waktu untuk apalagi…”

“Kamu makin bikin aku bingung harus memposisikan diri aku gimana lagi Juna…”

“Aku boleh peluk kamu? aku kangen… aku minta maaf karena aku belum bisa kasih jawaban untuk kamu saat ini… aku— aku peluk kamu boleh ya?”

Arin tak ingin menahannya, Arin membiarkan rasa rindunya juga tersalur dalam dekap Juna. Laki-laki yang sampai saat ini masih dicintainya entah seberapa banyaknya Juna menggoreskan luka.

“Arin kamu tau kan, aku nggak pernah berniat selingkuh dari kamu…”

“Semua memang salah aku, tapi aku nggak pernah sedikit pun ada niat buat ngehancurin hubungan kita… semua itu kecelakaan yang nggak bisa aku hindarin… aku salah… dan aku mengakuinya kalo aku salah dalam hal ini…”

Malam ini, Arjuna dan Karin melepas kepulangan rindunya. Membiarkan obrolan mereka menggantung, mengisinya dengan peluk hangat keduanya. Jemari keduanya bertaut, seolah menyalurkan energy bahwa semuanya bisa terlewati asal bersama.

Arin tidak tau apakah keputusannya ini tepat atau tidak untuk tetap bersama dengan Juna, gadis itu hanya belum mau mengikhlaskan Juna begitupun sebaliknya. Hubungan yang mereka bangun kurang lebih 2 tahun lamanya mungkin sudah berada di ujung tanduk, tak jelas akhir yang bagaimana yang akan menjadi penutup kisah keduanya.

Arin ingin melepas Juna dengan ikhlas, namun hatinya mungkin harus siap patah untuk kesekian kalinya.

Suasana pagi ini terlihat lebih santai, meskipun ribut-ribut dan misuh pagi hari tetap wajib hukumnya. Ya, gak ribut gak afdol.

“BANG SUMPAH BANG GUE UDAH KEBELET BANGET PLEASE…” teriak Dino menggedor-gedor pintu kamar mandi tak tahan ingin segera membuang hajatnya. Sayangnya kalo udah Mingyu yang pake kamar mandi, sudah dapat dipastikan bisa satu jam bersemedi di dalam.

“Gue baru pake sabun chann!”

Dino tak habis pikir, setelah hampir sepuluh menit menunggu, ternyata Mingyu masih di step sabunan di kamar mandi. Entah nyabunin apa itu orang.

“Bang sumpah bang gue masuk ya? berdua aja, gue gehhh boker doang ini gak bisa ditahan lagi bangg akhh…” ucap Dino memohon dengan sangat amat, karena emang udah fatal berada di ujung tanduk. Bisa aja sih dia berak di celana, cuman kan…

“Kamar mandi sebelah sih chan buset” omel Mingyu dari dalem sana.

“Ada teh yerin bang lagi mandi juga ishh, yakali gue minta barengan disono…” kesalnya. Perdebatan itu tentu didengar yang lain, menimbulkan gelak tawa di pagi hari.

Akhirnya setelah lama berdebat Mingyu terpaksa membukakan pintu kamar mandi, dengan wajah kelewat kesal.

“Tutup mata lo!”

“Siapa juga yang mau liatin lo sih bang…”

“Takut insecure ya lo?” kekeh Dino jahil.

“Sorry super big!”

“Iya dehh…”

plungg…plungg

Akhirnya yang ditunggu-tunggu keluar juga, Dino beneran tutup mata selama mengeluarkan hajat, sementara Mingyu harus mencium aroma sedap sedap enek bercampur wangi sabun itu dalam kamar mandi.


“Udah siap semua kan?” tanya Seungcheol memastikan, direspon anggukan yakin dari yang lain.

“Gak ada yang ketinggalan? lupa sesuatu gitu? mumpung belum jalan, soalnya kita langsung pulang ke jakarta paginya, jadi gue harap gak ada barang penting atau apapun itu yang ketinggalan disini karena udah pasti ribet buat baliknya dan kalopun ada yang ketinggalan udah pasti siap-siap ambil sendiri…” semuanya menyimak ucapan Seungcheol dengan baik, kemudian memastikan kembali barang bawaan masing-masing. Saat dirasa semuanya lengkap mereka segera bergegas memutuskan untuk melanjutkan agenda perjalan hari ini.

Tak lupa sebelum mereka pergi, mereka menyempatkan pamit ke panti terlebih dahulu. Tempat dimana mereka besar dan tumbuh bersama. Dari sanalah mereka semua berasal meski dengan latar belakang dan cerita yang berbeda.

“Kita semua pamit ya bu dinar… sekali lagi terimakasih karena kita masih dibolehin main kesini…” Sowon tersenyum lembut mengucapkannya.

“Justru ibu yang makasih, karena kalian ternyata masih mau menyempatkan berkunjung menengok anak-anak di panti… ‘Ibu’ pasti bangga…”

Mereka semua paham, kata ‘Ibu’ yang Bu Dinar maksud. Sosok ibu yang memang merawat mereka sedari kecil, tanpa rasa terbebani sama sekali. Meskipun raganya sudah tidak bisa mereka peluk, suaranya tidak bisa mereka dengar. Namun jasanya akan selalu mereka kenang.

Yang lain mungkin bisa menahannya, namun tidak bagi Dokyeom, Eunha serta Yerin yang kali ini tidak bisa menahan air matanya.

“Kami pamit berangkat…” Joshua pamit tersenyum, rangkulan hangatnya menguatkan Yerin. Menepuk-nepuk pundak gadis yang hanya selisih satu tahun dengannya itu.


Setelah menempuh kurang lebih 3,5 jam perjalanan menuju Pantai Karang Bandung mereka akhirnya sampai di tempat tujuan. Semuanya melakukan check-in terlebih dahulu untuk menaruh sebagian barang untuk bermalam.

Pukul 2.46 mereka sampai di sana, tengah-tengah antara siang hari menuju sore.

Sampai di pantainya mereka semua sibuk masing-masing, menikmati hamparan laut biru. Joshua, Woozi, Minghao, Dokyeom serta Mingyu dan Dino memilih bermain volly pantai.

Sebagian yang lain memilih berjalan-jalan disekitaran pantai, berfoto-foto atau berdiam diri menikmati suasana.

Hari ini angin laut cukup kencang, jadi tidak begitu terasa panasnya.

“Cihh bola mata lo keluar tuh!”

Sebuah sapaan yang lebih tepat seperti sindirian itu membuat Jeonghan menolehkan pandangannya ke arah samping kanan, laki-laki itu tersenyum tipis.

“Diliatin doang ditembak kagak.” lagi-lagi kalimat sindirian itu keluar dari gadis bermarga Hwang itu. Sinb memilih ikut duduk di bawah pohon tepat di samping Jeonghan yang meneduh dari teriknya matahari.

“Sok tau bocil.”

Sinb melotot tak terima dikatain bocil oleh Jeonghan.

Yang Sinb maksud adalah Jeonghan yang terlihat kedapatan memperhatikan Sowon dan Wonwoo yang sepertinya sedang asik mengobrol dan jalan santai di sepanjang pantai.

“Kalo suka tuh bilang bang, tembak gitu, jangan cuma diliatin. Nanti ditikung orang gimana?” Sinb kembali memancing obrolan.

“Ngomong apasih? Gue gak ada perasaan apa-apa sama Sowon…” kata Jeonghan santai, seolah adalah kebenaran yang dia ucapkan.

Sinb merespon dengan anggukan meledek, “Masa sih?” tanyanya kembali, kali ini Sinb berusaha mencari jawaban yang benar dari binar mata Jeonghan.

“Keliatannya nggak gitu tuh…” Sinb ikut melirik memperhatikan ke arah Sowon dan Wonwoo yang sedang asik berbincang, entah hal seseru apa yang keduanya bicarakan sampai Sinb bisa melihat tawa lebar dari kakak perempuannya itu.

“Keras kepala ya Hwang Eunbi ini?” Jeonghan mencubit pipi Sinb gemas. Berusaha tenang menjawab pertanyaan perempuan itu.

Sinb merespon kesakitan, serta menatap nyalang ke arah Jeonghan yang seenaknya mencubit pipinya. Sinb tau dia menggemaskan, tapi Sinb tidak bisa membiarkan pipinya di uyel-uyel seperti adonan roti.

“bang jeonghan, bang joshua, bang seungcheol kalian semua terlalu obviusly naksir sama mba sowon tauuuu!”

Jeonghan tertawa mendengarnya, memang semua orang mungkin akan berpikir demikan. Melihat selalu ada api diantara mereka ber-empat.

“Gue jelasin ya, wajar lo bilang gitu karena gue, seungcheol, joshua dan sowon itu udah dari kecil main sama-sama sebelum akhirnya lo lo pada nonggol. Bahkan kita tuh satu sekolah, satu kelas terus sampai masa SMP. Dan sowon itu perempuan diantara kita, jadi wajar gue dan yang lain ada rasa kompetisi dalam ngelindungi dan ngejagain dia. Konteksnya sebagai sahabat…”

Sinb menyimak dengan baik cerita Jeonghan, kedua lututnya ia peluk, sementara dagunya bersandar disana, melirik menatap serius Jeonghan seolah seru sekali mendengarkan Jeonghan bercerita.

“Tapi yang gue denger bang joshua pernah pacaran sama mba sowon artinya dalam persahabatan kalian pasti gak menutup kemungkinan ada yang saling suka atau menyimpan rasa kan bang?”

Cerdas, boleh Jeonghan memuji adik tidak sedarahnya itu?

“Perasaan seseorang itu siapa yang tahu sih? selain diri sendiri? lo bener, mereka pernah pacaran tapi itu dulu banget, jaman jaman remaja ingusan. Ya itu sih gue gak ngurus ya, yang jelas pas mereka pacaran pun… enggak— ada yang berubah… kita tetep bersahabat biasa…”

Ada keraguan yang Sinb lihat dari ucapan terakhir Jeonghan, seperti ada dalam dilema. Dari pada itu semua, Jeonghan lebih mengkhawatirkan ada seseorang yang jauh lebih keras berusaha menyembunyikan perasaannya lebih dari pada itu kepada Sowon.

Tingg!!

Ponsel Jeonghan berbunyi, notifikasi pesan masuk di ponselnya.

“Dihhh siapa tuhhh!!” Sinb terkejut melihat wallpaper ponsel Jeonghan yang ternyata ada sosok perempuan.

“Bang itu siapaaa??!!“ Sinb berusaha merebut ponsel yang digenggam Jeonghan, kepo dengan wajah perempuan yang terpampang di layar ponsel seorang Jeonghan. Tentu Sinb tidak berhasil karena kalah cepat dengan Jeonghan yang langsung bangun beranjak dari tempat.

“Dih gitu main rahasia-rahasiaan…” Sinb bersedekap dada, mengeluarkan jurus ngambeknya. Tanpa menghiraukan ucapan Sinb, Jeonghan membalas pesan singkat tersebut dengan senyum merekah yang bisa Sinb lihat dengan jelas. Sinb berusaha mengintip namun gagal karena Jeonghan yang menahan gadis itu.

Sinb bercecak kesal, “janji deh gue gak kasih tau siapa-siapa bang pleaseeee…” ucapnya memohon mengeluarkan jurus andalan puppy eyes. Tentu Jeonghan tidak mudah luluh dengan itu semua.

“Lo pikir gue percaya?“

Jeonghan memelet meledek, kemudian berlari meninggalkan Sinb. Terjadilah kejar-kejaran ala Tom & Cat alias Tomcat haha.

“Bang siapaaa ituu?? pacar loo??” teriak Sinb tak menyerah mengejar Jeonghan.

Laki-laki itu terkekeh, “Kepo bocil” lagi-lagi ultimatum itu keluar dari mulut Jeonghan.

“Inisal deh inisallll” Sinb masih pantang menyerah meskipun harus kejar-kejaran dan bergelut ria dengan Jeonghan.

“N inisial N”

Setelah itu keduanya berhenti, mengatur nafas satu sama lain. Sinb benar-benar dibuat kelelahan oleh Jeonghan, gadis itu bertolak pinggang mengatur nafas.

“Hahhhh hahhhh huhhh N apa N? Ningsih? Nunung? Nanang?” tebak Sinb asal dan bercanda yang justru mendapatkan sentilan di dahinya dari Jeonghan.

“Pokoknya N!” setelah itu Jeonghan kembali berlari meninggalkan Sinb, Sinb sih udah nyerah ngejar Jeonghan. Bodoamat deh dia, yang penting udah dapet kisi-kisinya dari Jeonghan bahwa gadis itu berinisial N.

Mungkin saja semua nama yang tadi dia sebutkan adalah salah satunya? Ahahaha.

Disis lain, perempuan dan laki-laki yang sempat menarik perhatian Jeonghan terlihat masih asik berseda gurau.

“Cie semalem ngedate ya?” ledek Sowon membuat laki-laki berkacamata itu sedikit tersipu malu.

“Cerita dong udah sampe mana? hahaha” godanya lagi.

Wonwoo menggeleng, menyimpulkan tawanya. “Gak sampe mana mana mba…”

Sowon mengerut bingung, “Lo sih gak gercep.”

Disela-sela perbincangan keduanya terlihat dari ujung pantai, perempuan yang menjadi incaran hati seorang Jeon Wonwoo tengah asik bercanda bermain air di sana dengan laki-laki yang terlihat sangat akrab dan dekat sekali dengan gadis itu.

Sowon sangat peka dengan itu, “Gak usah cemburu, Hoshi sama Yerin emang udah kayak adek kakak aja…” ucap Sowon menenangkan, namun rasa kekhawatiran itu tidak bisa Wonwoo pungkiri.

Kesembilan belas dari mereka memanglah sudah seperti saudara satu sama lain meski darah yang mengalir pada mereka adalah berbeda. Pembatas itu tetap ada, antara laki-laki dan perempuan.

Wonwoo berdecak, laki-laki itu sedikit membenarkan posisi kacamatanya. “Gue tuh gak tau ya mba…” Sowon menyimak kalimat Wonwoo yang belum diselesaikannya itu.

“Yerin tuh kerasa abu-abu banget buat gue… gue gak tau dia peka sama perasaan gue atau nggak, tapi rasanya selalu ada tembok yang membatasi kita… keliatannya sih deket tapi nyatanya Yerin jauh banget dari genggaman gue mba…”

Kalimat yang sangat terdengar dalam di telinga Sowon, gadis itu sendiri tidak begitu paham perjalanan romansa antara Yerin dan Wonwoo sudah sejauh apa.

“Tapi keliatannya Yerin kayak yang suka juga sama lo tuh nuu…”

Wonwoo menggeleng, “Dia nggak sehangat keliatannya, kalo lagi sama kalian-kalian gue ngerasain itu, tapi kalo dia lagi sama gue, Yerin keliatan dingin banget… jauh lebih cuek… bahkan kalo lagi berdua aja sama dia, gue nya yang jadi semakin canggung buat interaksi lebih sama dia…” Sowon menepuk-nepuk pundak laki-laki berkacamata itu, sebagai bentuk simpatinya.

“Gue kasih tau ya, cewek kalo suka sama cowok tuh justru biasanya yang keliatan malah sebaliknya… yang keliatan cuek belum tentu cuek… maksud gue adalah biasanya itu reflek kita lakuin sebagai cewek cuma buat nguji sejauh mana cowok yang ngedeketin kita tuh kuat kalo kita cuekin dan sebagainya…” jelas Sowon.

“Tapi cowok juga bisa capek mba di cuekin dengan dalih menguji…”

“… inget only allah can test us, am i right?” lanjut Wonwoo yang justru malah merespon dengan jokes ala-ala untuk mencairkan suasana dirinya sendiri.

to be continued…

Berangkatttttt~~

Jeonghan ketawa lepas abis bikin si bontot mencak-mencak. Niat dia sebenernya emang nyuruh beneran cari remot, dia kira si bontot bakal mau, gak taunya mencak-mencak gak karuan. Alhasil ya Jeonghan cari sendiri remot tv nya.

“Hobi banget sih lo bikin si dino ngereog” sambar Sowon yang belum lama dateng pulang sehabis mengajar di Panti Asuhan dengan yang lain.

Sowon sih cuma mantau twitter aja ngeliat keributan-keributan absurd sodara seper-panti asuhannya itu.

“Lucu ngerjain si dino mah” Jeonghan kembali tertawa.

“Lagian males banget sih! nyari remot aja pake nyuruh orang, lo yang mau nonton juga!” seru Sowon greget tapi tidak dilewatkan gelak tawanya yang ikut geli ngeliat tingkah Jeonghan.

“Bantuin sihhh…” ucap Jeonghan sambil tangan dan matanya fokus mengacak-ngacak meja ruang tengah, berusaha mencari dimana benda persegi panjang itu diletakan.

“Ogah! lo yang mau nonton.”

“Awas ya lo kalo nonton…” ancam Jeonghan.

“Kayak bocah SD anjirr dihh lo!!”

Jeonghan tertawa, ya tentu aja ancaman tadi gak benar-benar serius dia lakui. Toh Jeonghan emang juara satu kalo soal ngejailin orang dan bikin kesel orang.

Tiba-tiba muncul si badan bongsor otot baja tulang besi alias Kim Mingyu. Tiba-tiba langsung ambil posisi tiduran di sofa ngejadiin paha Sowon sebagai bantalannya.

“Eh…ehh apa apaan lo! maen rebahan aja, bisaan menang banyak!“ protes Jeonghan yang langsung nyuruh Mingyu bangun. Mingyu ya kesel cembetut aja dia tuh dari tadi. Sepanjang ngajar di Panti muka sedihnya gak ilang-ilang, Sowon sampe bingung Mingyu nih abis kesambet hantu belao apa gimana?

“Apaansi cemburu aja lo bang!”

“Siapa yang cemburu? gak level amat gue cemburu sama lo!” ucap Jeonghan gak terima dibilang cemburu.

“Hari-hari ribut…” bukan Sowon yang menanggapi, tapi laki-laki dengan balutan kaos hitam, celana pendek dengan kacamata yang setia bertengger di hidung mancungnya.

Siapa lagi kalo bukan Jeon Wonwoo.

“Lah itu remot nemu dimana?” tanya Sowon yang bingung ngeliat Wonwoo dateng-dateng langsung nyalaiin TV dengan remot yang udah ada di tangannya.

“Di kamar, si hoshi yang naro. Semalem abis nonton bola dia bawa-bawa itu remot…” jawab Wonwoo jujur gak di lebih-lebihin dan gak di kurang-kurangin.

“Pantes aja anyink dari tadi gue nyari kagak ada…” murka Jeonghan, Wonwoo sih responnya ketawa ganteng aja.

Nggak lama dateng Joshua dkk membawa banyak bingkisan.

“Widih belanja bos?” Dokyeom menyebul dari balik pintu kamar mandi dengan handuk basah yang masih lengkap menyelimuti kepalanya. Iya, dia abis mandi sore mumpung belum rebutan sama yang lain jadi Dokyeom mending nyolong start duluan.

“Buat anak panti” jawab Seungcheol sembari menggeletakan kantong belanjaannya.

“Lah si seungkwan mana?” tanya Jeonghan melirik ke arah belakang Seungcheol, soalnya dia nggak ngeliat batang hidung Seungkwan.

“Di belakang, masih ngambil barang sama minuman bantuin dah sono…” ucap Seungcheol.

Tanpa harus disuruh Mingyu, Dokyeom langsung gercep set sat set keluar nyamperin Seungkwan di halaman depan.

“Wetss mana nih pesenan gue bang??” dari balik pintu kamar ada Yuju menagih janji si paling tua dengan cengiran khas yang tidak berdosa Yuju berjalan ke ruang tengah, disusul Eunha dan Yerin setelahnya.

Yuju langsung ambil posisi berdiri tepat dibelakang Seungcheol yang lagi duduk, tangannya gak lupa buat kasih pijetan pijetan lembut ke pundak Seungcheol. Biasa, kalo udah diturutin maunya pasti Yuju baik-baikin Seungcheol.

“Ada maunya aja lo baru mijetin gue” Sungut Seungcheol. Yuju sih cuma ketawa-tawa ngeliat ekspresi Seungcheol yang kayak dompet tanggung bulan.

“Oh si jenong yang minta chattime?” Hoshi melotot bercanda.

“Siape lagi…”

Gak lama yang ditunggu-tunggu dateng, minuman boba jaman jigeum ceunah.

Muka Yuju langsung berbinar-binar udah kayak nggak minum boba satu tahun. Plastik berisi boba yang dibawa Dokyeom dan Seungkwan langsung diambil alih oleh Yuju dan Yerin. Sampe bikin Dokyeom terheran-heran, ciwi-ciwi liat boba kayak liat gepokan uang satu milyar, ijooooo. Nggak sih, lebay aja Dokyeom mah.

“Jangan rebutan woy” teriak Hoshi.

“Dih kok sama semua sih bang?” protes cewek berambut pendek, siapa lagi kalo bukan Eunha.

“Biar adil naa” kali ini Joshua yang menjawab.

“Yah gak bisa saling cobain dong…” Yerin cemberut dibuatnya.

“Si anyink udah nitip pake mau yang aneka rasa! lo aje sono yang jualan sekalian” ucap Hoshi bercanda nggak lupa tangannya jail menyentil dahi Yerin, alhasil menbuat gelak tawa yang lain.

“Gatau aja ini belinya tuh patungan teh asal lo tau” Seungkwan ikut menimpali.

“Yeu kayak ikut patungan aja lo!” sambar Hoshi. Soalnya emang bener Seungkwan gak ikut patungan, yang dipalakin yang udah berpenghasilan aja karena Seungkwan masih kuliah jadi aman deh.

“Yee bang biar gue kagak ikut patungan tapi gantinya gue yang dijadiin babu najongg!” ceplos Seungkwan yang lagi-lagi bikin yang lain tertawa.

“Ini yang lain pada kemana? Seungcheol memperhatikan sekelilingnya belum lengkap.

“dino, uji sama junpi di saung” jawab Sowon.

“Si umji sama sinb juga tadi kebelakang deh” sambung Wonwoo memberitahu.

“Si bonon kemana tuh?” Yerin ikut celingak-celinguk.

“Molor dia mah” ucap Wonwoo menanggapi tapi matanya gak lepas dari acara TV.

“Bangunin bangunin udah sore molor” suruh Sowon.

“Dari siang dia tidurnya”

“Katanya tadi apa? mau ke pantai? gue belum scroll grup, omongin sekarang aja mumpung belom lupa…” ucap Seungcheol membuka topik obrolan yang sempat tertunda di grup itu sembari menusukan sedotan pada cup plastik minuman boba tersebut.

Seungcheol berdecak lega setelah minuman berasa itu membasahi kerongkongannya, “Si hao kemana juga tuh?“

“Gue disini bang” jawab Minghao, yang dicari ternyata ketutupan oleh badan besar Mingyu yang kayak gapura komplek.

“Lagi lo ngapain ngumpet di badan si kiming anjir, kagak keliatan” Hao sih senyum-senyum aja ngeresponnya.

“Ngobrol di saung ajalah biar enak” usul Eunha dan disetujui yang lain yang langsung beranjak dari tempat.

Joshua membawa plastik sisa minuman, tangannya menahan pundak Seungkwan sebelum jalan ke Saung, “Bangunin si bonon dulu gihh…” suruhnya, yang disuruh cuma manggut-manggut tapi nggak lupa bibirnya yang ngoceh dibelakang.

(Gue lagi gue lagi) gitu kira-kira dumelan Seungkwan wkwk.

Disinilah mereka semua berkumpul, duduk duduk ngadem sore di saung belakang Villa yang mereka sewa untuk menginap selama beberapa hari berlibur ke Bandung.

“Dihhh beli es nggak bagi-bagi” protes Dino.

“Onohhh ihhhhh~ ada di plastik yang bang shua pegang anjirr!” Mingyu langsung menarik jauh minumannya yang hampir disedot Dino, tangannya langsung menunjuk ke arah Joshua yang emang megang sisa esnya.

Yang lain sih ketawa aja sambil geleng-geleng kepala, bukan hal baru buat mereka kalo suka rebutan makanan atau minuman.

Seungcheol berlalu ke arah Yerin, mengambil posisi duduk paling pojok bersandar pada tiang saung “Jadi mau kemana besok sebelum lusanya balik ke Jakarta?”

“Pantaiii!” seru Eunha kegirangan.

Berbeda dengan respon Woozi yang kayaknya keberatan kalo mereka semua memilih ke pantai.

“Setuju!!” Yuju langsung menyambut tos ria kepada Eunha.

“Main setuju setuju aja lo undur-undur!” ledek Dokyeom menanggapi dan tentu direspon cubitan oleh Yuju sendiri.

“Ada saran lain gak selain pantai?” ucap Seungcheol melirik ke yang lain.

“Naik gunung…” ceplos Jeonghan.

“Gila.” murka Seungcheol memberi toyoran kecil ke kepala Jeonghan, membuat yang lain kembali tertawa geli.

“Pala gue udah di fitrah!!”

“Kulineran aja” Sinb bersuara, alisnya dinaik turunkan merasa sarannya cukup keren.

“Kulineran mah pasti gak sih? sembari jalan jalannya…” kata Umji dianggukin oleh yang lain. Sinb langsung manyun, setelah dipikir-pikir sudah pasti mereka akan kulineran sih jadi ya yang Umji bilang bener juga.

“Lo biasanya suka tau tempat-tempat bagus rin, gak ada ide?” tanya Jeonghan melirik ke arah kanannya.

“Yang nyaranin kan emang die tuh” imbuh Hoshi.

“Belum kepikiran sih hehe…” ucap Yerin sedikit menggaruk lehernya yang gatal.

“Yeuu marsupilami!!” sorak Jun sembari melempari daun yang dipetik dan disobeknya menjadi kecil-kecil dari pohon ke arah Yerin.

“Totol totol kuning dong jiakhhh” timpal Dokyeom tertawa puas.

Dan kembali, mereka semua dibuat tertawa dengan guyon-guyon kecil yang dilontarkan satu sama lain.

“Sunmori aja!!” saran Seungkwan heboh.

“Motornya mana sisca kohl!” cerca Mingyu sebal.

“Hehehe”

“Bonon coba ada ide? dari tadi diem aja, nahan berak?” ceplos Sowon melirik ke arah Vernon. Yang dilirik hanya merespon ‘hah?’ layaknya orang yang nyawanya belum terkumpul.

“Jangan nanya bonon teh, masih dibawah alam sadar dia. Ilernya aja masih nempel tuh…” ucap Seungkwan menyambar, Vernon yang emang nyawanya belum terkumpul buru-buru mengelap sudut bibirnya, takut beneran masih ada ilernya dia tuh.

“Yaudah fix ke pantai aja.” putus Seungcheol.

“YES!” Yuju dan Eunha bertepuk ria.

“Lah anjir ngapain diskusi kalo jadinya ke pantai?!” kata Hoshi.

“Ya lo ada saran mau pergi kemana gitu?” Seungcheol kembali bertanya, yang ditanya malah geleng-geleng. Ngebuat Seungcheol hampir aja sumpah serapah.

“Yaudah pada setuju nih ya ke pantai aja jadinya?” ucap Sowon mengambil intrupsi. Diliat dari ekspresi serta gestur tubuh, mereka semua setuju-setuju aja.

“Nah sekarang nentuin mau ke pantai mana?” kata Minghao.

“Kalo ini gue punya rekomendasi!” seru Umji.

“……ada salah satu pantai yang masih sepi, maksud gue, dia nggak banyak dikunjungi gitu loh jadi kayaknya cocok buat kita-kita biar berasa private gitu. Nah ini nama pantainya…” lanjut Umji sembari menunjukan ponselnya tentang pantai yang dimaksud.

“Boleh tuh, Pantai Karang Bandung… kayaknya bagus…” kata Joshua yakin.

“Oke, Pantai Karang Bandung ya? berapa jam perjalanan kira kira?” tanya Seungcheol.

“3,5 jam lah kira-kira kalo gak ada kendala dan jalanan lancar…”

Seungcheol mengangguk paham, “Yaudah tinggal packing barang kalian dari sekarang, gue rasa kita gak mungkin bolak balik ke Villa lagi, jadi better sekalian nginep semalem disana baru paginya cabut balik ke jakarta…” semua menyetujui Intruksi dari Seungcheol.

“Bubar-bubar udah mau maghrib…” celetuk Sowon beranjak dari duduknya, namun belum ada kakinya melangkah, Sowon udah di cegat duluan sama Hoshi.

“Eitss bentar dulu gaisss…” tahan Hoshi. Semua memperhatikan Hoshi bingung, entah apa yang akan laki-laki itu lakukan.

“Ekhemmm!”

“Berang-berang bawa tongkat!”

“Cakepp!” seru semuanya kompak mengikuti pantun yang diucapkan Hoshi.

“Gue bukan mau pantun anjir! gue cuma mau ngasih tau kalo berang-berang bawa tongkat…”

Mingyu udah kalang kabut, kakinya bersiap nendang pantat Hoshi sampe Planet Bekasi. Gak cuma Mingyu, yang lainpun sama emosinya ngeliat tingkah jail Hoshi. Udah serius-serius mereka menanggapi malah diajak gelut.

Sementara Yerin udah siap dengan aba-aba ngelempar sendal swallow kuning miliknya. Ya, bukan Hoshi kalo nggak bikin kesel orang satu rumah. Bukan pula mereka kalo nggak gelut sehari aja, bagai masak tanpa garam alias hambar. Bagai kolor tanpa karet alias longgar wes ewes ewes bablas angine~

Malam ini pesta megah digelar oleh Kerajaan Hongdae sebagai bentuk perayaan atas terpilihnya penerus Raja di Kerajaan Hongdae.

Kerajaan Hongdae menggelar pesta besar yang dihadiri oleh berbagai kalangan dari rakyat biasa hingga bangsawan. Turut mengundang Raja serta Ratu dari Kerajaan lainnya.

“Huhft… membosankan sekali untukku…” ungkap seorang Ratu dari Kerajaan Heavenfeer. Dia adalah Ratu Airin Gallenia Scott, dikenal dengan Ratu yang sangat hangat dan merakyat.

“Yang Mulia Ratu Airin apakah ingin saya bawakan camilan semacamnya? atau jika merasa bosan Yang Mulia Ratu bisa keluar sebentar dari Istana untuk menghirup udara segar, saya akan menemani Yang Mulia Ratu…” ungkap salah satu Dayang, yang memang bekerja mengabdi untuk Ratu Airin.

“Tidak Sand, kau dan yang lain nikmati saja pestanya. Aku akan berkeliling sendiri selagi pesta dansanya berlangsung.” Ratu Airin tersenyum, kemudian beranjak pergi setelahnya.

Bughhh

“Akhh…”

Airin tidak sengaja menabrak seseorang saat dirinya tengah berjalan dan melihat-lihat sekitar Istana yang ramai dengan tamu undangan yang tengah menikmati pesta dansa.

Airin menunduk, “Maafkan saya Yang Mulia, saya lalai dalam memperhatikan langkah saya sendiri…”

“Tidak masalah…” Airin kembali menunduk sebagai bentuk penghormatannya.

“Ah— selamat untuk anda karena telah menjadi Raja untuk Kerajaan Hongdae…” ucap Airin tersenyum dan kembali memberi penghormatannya kepada Raja William Deandlest.

“Terimakasih… anda Lady Airin dari Kerajaan Heavenfeer bukan?” tanya Raja William memastikan bahwa ia tidak salah mengenali.

“Benar saya Airin Gallenia Scott dari Kerajaan Heavenfeer, senang bisa ikut menghadiri pesta perayaan Yang Mulia Raja…” ucap Airin tersenyum simpul.

William ikut menarik senyum simpulnya, matanya yang tajam dan dalam tak lepas memperhatikan sosok Ratu dari Kerajaan Heavenfeer itu.

“Mau berdansa dengan saya?” William mengulurkan tangan hangatnya, tersenyum tipis menunggu jamuan tangan Ratu dari Kerajaan Heavenfeer itu.

“Ah— maaf sebenarnya saya tidak begitu pandai dalam berdansa…” Airin tersenyum canggung, manik cantiknya memancarkan kejujuran jika dirinya memang tidak begitu pandai dalam hal berdansa.

“Itu akan melukai perasaan saya karena anda menolaknya secara tidak langsung Lady Airin…” William meraih pergelangan tangan Airin kemudian mencium punggung tangan sang Ratu, menarik tipis senyumnya. Airin tersipu karena perlakukan manis Raja Kerajaan Hongdae itu.

William mengikis jarak keduanya, tangannya menuntun tangan Airin untuk menggenggam tangannya.

Langkah keduanya bergerak sesuai alunan musik, meski Airin terlihat sedikit lebih kaku namun itu tak menjadikan Raja William kesulitan untuk membantu Lady Airin menyamai ketukkan langkah kakinya.

Manik keduanya saling bertatapan, Airin merasa geli sendiri karena dirinya yang terlihat kaku saat berdansa. Airin membatin saat dirinya mengagumi dalam diam bagaimana pesona seorang Raja dari Kerajaan Hongdae itu.

Airin tidak berbohong jika dari sekian Raja yang ia kenali mungkin Raja William adalah yang tertampan diantara yang dikenalnya.

“Anda sungguh cantik Lady Airin…” puji William.

“Saya sangat berterimakasih mendengarnya Yang Mulia…” Airin tersenyum lebar dibuatnya.

“Saya sudah lama menunggu ini…” Airin mengerutkan dahinya bingung, tidak paham dengan ucapan Yang Mulia Raja tujukan untuk perihal apa.

“Ah— upacara pengangkatan Yang Mulia Raja?”

Willdan tersenyum menggeleng, “Menunggu berdansa dengan Lady Airin…” Airin membulatkan matanya, sedikit merasa aneh dengan apa yang barusan didengarnya.

Mungkinkah Raja William hanya tengah ingin menggodanya?

“Sekali lagi saya merasa terhormat jika Yang Mulia Raja mengatakannya…”

Setelah itu keduanya diam, hanya mengamati satu sama lain mengikuti alunan musik yang membawa mereka.

“Anda pasti tidak akan percaya jika saya mengatakannya…” William kembali membuka obrolan. Tatapannya kini lebih terlihat sendu memandang Airin.

“Maaf saya tidak mengerti maksud Yang Mulia…”

“Saya mencintai anda Lady Airin…” tiba-tiba saja Yang Mulia Raja William bertekuk lutut dihadapan Airin. Dengan semua mata tertuju kepada mereka berdua.

Kini keduanya menjadi pusat perhatian. Entahlah, Airin merasakan semuanya seperti telah direncanakan. Semua orang yang ada di Istana terlihat mengambil posisi masing-masing seolah tau jika sang Raja akan melakukan ini.

Airin tidak berbohong jika degup jantungnya tiba-tiba berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Hal yang tidak ada dalam expetasinya.

“Maukah Lady Airin Gallenia Scott menjadi Ratu saya?”

Seolah seperti sihir, sebuah cincin dikeluarkan oleh William Deandlest tepat setelah mengutarakan perasaannya.

Senyumnya seolah terpancar meskipun degupan jantungnya yang tak kalah memacu. Siapa sangka William Deandlest memang sudah lama memendam rasa pada sang Ratu di Kerajaan Heavenfeer itu.

Keduanya memang jarang bertemu secara langsung, hanya diberbagai kesempatan seperti acara-acara yang digelar oleh Kerajaan.

William yang saat itu tidak memiliki nyali yang kuat untuk mendekatkan diri kepada Ratu Kerajaan Heavenfeer.

William yang memang terkenal kaku dan dingin itu tidak memiliki waktu untuk melakukan pendekatan lebih kepada Airin Gallenia Scott.

“Dihadapan seluruh rakyat saya, masyarakat Hongdae serta seluruh bangsawan yang hadir. Saya melamar anda Lady Airin Gallenia Scott untuk menjadi Ratu saya…”

Airin masih menunggu William menyelesaikan kalimatnya.

“Saya tidak akan menikah dengan wanita manapun jika itu bukan Lady Airin. Saya tidak akan menjadikan wanita lain sebagai Ratu Kerajaan Hongdae jika Lady Airin bukanlah orangnya…”

William masih dalam posisinya, Airin bisa melihat garis matanya yang tajam terlihat berbinar dan penuh ketulusan mengatakannya.

Airin tidak pernah dekat atau menjalin hubungan dengan Raja atau Bangsawan manapun. Selama ini dirinya fokus untuk membenahi Kerajaan Heavenfeer.

Airin hanya pernah menaruh rasa penasarannya, dan itu adalah kepada Raja William Deandlest saat pertemuan antar Kerajaan diadakan. Dan rasa penasaran Airin bersifat sementara, namun bukankah sebuah keajaiban bila nyatanya sang penguasa Kerajaan Hongdae menyimpan rasanya rapat-rapat untuk sang Ratu Kerajaan Heavenfeer.

Jika pernikahan dua Kerajaan ini terjadi, maka akan mencetak sejarah baru didalam tatanan Kerajaan. Bahwa biasanya setiap Kerajaan hanya akan menikah dan memilih pasangan yang satu tanah air dengannya.

“Jika Lady Airin menolak lamaran saya silahkan tundukkan kepala anda, jika anda menerimanya maka genggamlah tangan saya…” ucap William mantap tanpa ada keraguan didalam hatinya, seolah ia sudah menyiapkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Airin menghela nafasnya dalam, degup jantungnya masih tidak beraturan. Dihadapan rakyat Hongdae serta para Bangsawan Airin harus memberikan pilihan bijaknya.

Airin menunduk dengan hormat kepada William…

Kemungkinan terburuk itu sudah William pikirkan, dan ia tidak menyangka jika kemungkinan terburuk itu akhirnya menjadi kenyataan.

Raut wajah sang Raja berubah sendu, namun tangannya di genggam erat oleh Airin.

Yang artinya…

Lamaran sang Raja di—terima…

Airin tersenyum lembut, jemarinya mengenggam tangan William erat. Membawa laki-laki itu bangkit dari posisinya.

Tangan kanannya tersalur dengan senyum haru tak memudar dari wajahnya, William sedikit menyimpulkan tawa, setelahnya menyematkan cincin permata cantik itu kepada Ratu Airin Gallenia Scott. Mencium punggung tangan sang Ratu Heavenfeer.

William mengikis jarak keduanya, seolah tau akan berakhir seperti apa antara Willian dan Airin. Airin memejamkan matanya tersenyum, William mencium benda merah muda itu lembut dihadapan rakyat Hongdae serta Bangsawan yang turut hadir.

“I found you… My Queen…” bisik William Deandlest.

#_ Until I Found You.

Malam ini pesta megah digelar oleh Kerajaan Hongdae sebagai bentuk perayaan atas terpilihnya penerus Raja di Kerajaan Hongdae.

Kerajaan Hongdae menggelar pesta besar yang dihadiri oleh berbagai kalangan dari rakyat biasa hingga bangsawan. Turut mengundang Raja serta Ratu dari Kerajaan lainnya.

“Huhft… membosankan sekali untukku…” ungkap seorang Ratu dari Kerajaan Heavenfeer. Dia adalah Ratu Airin Gallenia Scott, dikenal dengan Ratu yang sangat hangat dan merakyat.

“Yang Mulia Ratu Airin apakah ingin saya bawakan camilan semacamnya? atau jika merasa bosan Yang Mulia Ratu bisa keluar sebentar dari Istana untuk menghirup udara segar, saya akan menemani Yang Mulia Ratu…” ungkap salah satu Dayang, yang memang bekerja mengabdi untuk Ratu Airin.

“Tidak Sand, kau dan yang lain nikmati saja pestanya. Aku akan berkeliling sendiri selagi pesta dansanya berlangsung.” Ratu Airin tersenyum, kemudian beranjak pergi setelahnya.

Bughhh

“Akhh…”

Airin tidak sengaja menabrak seseorang saat dirinya tengah berjalan dan melihat-lihat sekitar Istana yang ramai dengan tamu undangan yang tengah menikmati pesta dansa.

Airin menunduk, “Maafkan saya Yang Mulia, saya lalai dalam memperhatikan langkah saya sendiri…”

“Tidak masalah…” Airin kembali menunduk sebagai bentuk penghormatannya.

“Ah— selamat untuk anda karena telah menjadi Raja untuk Kerajaan Hongdae…” ucap Airin tersenyum dan kembali memberi penghormatannya kepada Raja William Deandlest.

“Terimakasih… anda Lady Airin dari Kerajaan Heavenfeer bukan?” tanya Raja William memastikan bahwa ia tidak salah mengenali.

“Benar saya Airin Gallenia Scott dari Kerajaan Heavenfeer, senang bisa ikut menghadiri pesta perayaan Yang Mulia Raja…” ucap Airin tersenyum simpul.

William ikut menarik senyum simpulnya, matanya yang tajam dan dalam tak lepas memperhatikan sosok Ratu dari Kerajaan Heavenfeer itu.

“Mau berdansa dengan saya?” William mengulurkan tangan hangatnya, tersenyum tipis menunggu jamuan tangan Ratu dari Kerajaan Heavenfeer itu.

“Ah— maaf sebenarnya saya tidak begitu pandai dalam berdansa…” Airin tersenyum canggung, manik cantiknya memancarkan kejujuran jika dirinya memang tidak begitu pandai dalam hal berdansa.

“Itu akan melukai perasaan saya karena anda menolaknya secara tidak langsung Lady Airin…” William meraih pergelangan tangan Airin kemudian mencium punggung tangan sang Ratu, menarik tipis senyumnya. Airin tersipu karena perlakukan manis Raja Kerajaan Hongdae itu.

William mengikis jarak keduanya, tangannya menuntun tangan Airin untuk menggenggam tangannya.

Langkah keduanya bergerak sesuai alunan musik, meski Airin terlihat sedikit lebih kaku namun itu tak menjadikan Raja William kesulitan untuk membantu Lady Airin menyamai ketukkan langkah kakinya.

Manik keduanya saling bertatapan, Airin merasa geli sendiri karena dirinya yang terlihat kaku saat berdansa. Airin membatin saat dirinya mengagumi dalam diam bagaimana pesona seorang Raja dari Kerajaan Hongdae itu.

Airin tidak berbohong jika dari sekian Raja yang ia kenali mungkin Raja William adalah yang tertampan diantara yang dikenalnya.

“Anda sungguh cantik Lady Airin…” puji William.

“Saya sangat berterimakasih mendengarnya Yang Mulia…” Airin tersenyum lebar dibuatnya.

“Saya sudah lama menunggu ini…” Airin mengerutkan dahinya bingung, tidak paham dengan ucapan Yang Mulia Raja tujukan untuk perihal apa.

“Ah— upacara pengangkatan Yang Mulia Raja?”

Willdan tersenyum menggeleng, “Menunggu berdansa dengan Lady Airin…” Airin membulatkan matanya, sedikit merasa aneh dengan apa yang barusan didengarnya.

Mungkinkah Raja William hanya tengah ingin menggodanya?

“Sekali lagi saya merasa terhormat jika Yang Mulia Raja mengatakannya…”

Setelah itu keduanya diam, hanya mengamati satu sama lain mengikuti alunan musik yang membawa mereka.

“Anda pasti tidak akan percaya jika saya mengatakannya…” William kembali membuka obrolan. Tatapannya kini lebih terlihat sendu memandang Airin.

“Maaf saya tidak mengerti maksud Yang Mulia…”

“Saya mencintai anda Lady Airin…” tiba-tiba saja Yang Mulia Raja William bertekuk lutut dihadapan Airin. Dengan semua mata tertuju kepada mereka berdua.

Kini keduanya menjadi pusat perhatian. Entahlah, Airin merasakan semuanya seperti telah direncanakan. Semua orang yang ada di Istana terlihat mengambil posisi masing-masing seolah tau jika sang Raja akan melakukan ini.

Airin tidak berbohong jika degup jantungnya tiba-tiba berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Hal yang tidak ada dalam expetasinya.

“Maukah Lady Airin Gallenia Scott menjadi Ratu saya?”

Seolah seperti sihir, sebuah cincin dikeluarkan oleh William Deandlest tepat setelah mengutarakan perasaannya.

Senyumnya seolah terpancar meskipun degupan jantungnya yang tak kalah memacu. Siapa sangka William Deandlest memang sudah lama memendam rasa pada sang Ratu di Kerajaan Heavenfeer itu.

Keduanya memang jarang bertemu secara langsung, hanya diberbagai kesempatan seperti acara-acara yang digelar oleh Kerajaan.

William yang saat itu tidak memiliki nyali yang kuat untuk mendekatkan diri kepada Ratu Kerajaan Heavenfeer.

William yang memang terkenal kaku dan dingin itu tidak memiliki waktu untuk melakukan pendekatan lebih kepada Airin Gallenia Scott.

“Dihadapan seluruh rakyat saya, masyarakat Hongdae serta seluruh bangsawan yang hadir. Saya melamar anda Lady Airin Gallenia Scott untuk menjadi Ratu saya…”

Airin masih menunggu William menyelesaikan kalimatnya.

“Saya tidak akan menikah dengan wanita manapun jika itu bukan Lady Airin. Saya tidak akan menjadikan wanita lain sebagai Ratu Kerajaan Hongdae jika Lady Airin bukanlah orangnya…”

William masih dalam posisinya, Airin bisa melihat garis matanya yang tajam terlihat berbinar dan penuh ketulusan mengatakannya.

Airin tidak pernah dekat atau menjalin hubungan dengan Raja atau Bangsawan manapun. Selama ini dirinya fokus untuk membenahi Kerajaan Heavenfeer.

Airin hanya pernah menaruh rasa penasarannya, dan itu adalah kepada Raja William Deandlest saat pertemuan antar Kerajaan diadakan. Dan rasa penasaran Airin bersifat sementara, namun bukankah sebuah keajaiban bila nyatanya sang penguasa Kerajaan Hongdae menyimpan rasanya rapat-rapat untuk sang Ratu Kerajaan Heavenfeer.

Jika pernikahan dua Kerajaan ini terjadi, maka akan mencetak sejarah baru didalam tatanan Kerajaan. Bahwa biasanya setiap Kerajaan hanya akan menikah dan memilih pasangan yang satu tanah air dengannya.

“Jika Lady Airin menolak lamaran saya silahkan tundukkan kepala anda, jika anda menerimanya maka genggamlah tangan saya…” ucap William mantap tanpa ada keraguan didalam hatinya, seolah ia sudah menyiapkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Airin menghela nafasnya dalam, degup jantungnya masih tidak beraturan. Dihadapan rakyat Hongdae serta para Bangsawan Airin harus memberikan pilihan bijaknya.

Airin menunduk dengan hormat kepada William…

Kemungkinan terburuk itu sudah William pikirkan, dan ia tidak menyangka jika kemungkinan terburuk itu akhirnya menjadi kenyataan.

Raut wajah sang Raja berubah sendu, namun tangannya di genggam erat oleh Airin.

Yang artinya…

Lamaran sang Raja di—terima…

Airin tersenyum lembut, jemarinya mengenggam tangan William erat. Membawa laki-laki itu bangkit dari posisinya.

Tangan kanannya tersalur dengan senyum haru tak memudar dari wajahnya, William sedikit menyimpulkan tawa, setelahnya menyematkan cincin permata cantik itu kepada Ratu Airin Gallenia Scott. Mencium punggung tangan sang Ratu Heavenfeer.

William mengikis jarak keduanya, seolah tau akan berakhir seperti apa antara Willian dan Airin. Airin memejamkan matanya tersenyum, William mencium benda merah muda itu lembut dihadapan rakyat Hongdae serta Bangsawan yang turut hadir.

“I found you… My Queen…” bisik William Deandlest.

Mood Arin semakin memburuk kala membaca pesan singkatnya dengan Arjuna sang kekasih. Arin mengharapkan pesan Juna setidaknya bisa menghiburnya, namun rasanya Arin terlalu berharap banyak dari laki-lakinya.

“Waitttt!! lo mau bawa gue kemana?? gue bilang gue mau pulang kan,,,,”

Arin menyadari rute jalan yang dilewatinya sama sekali bukan jalan menuju arah pulang ke rumahnya.

“Kita makan siang dulu, abis itu kita ke Seaworld setelahnya baru lo boleh pulang.” ucap Willdan enteng.

Mata si cantik membulat sempurna, “APAAN? NGGAK NGGAK!” tolaknya keras.

“Kenapa enggak?” Willdan memelankan laju mobilnya, melirik santai si cantik.

“Ya enggak aja, gue mau lanjut ngerjain skripsi” jawab si cantik mendengus kesal, tangannya sudah bersedekap dada menunjukan bahwa ia memang tidak dalam mood baiknya.

“Oke.” jawab Willdan seadanya, sedikit membuat suasana hati Arin jadi tidak enak hati.

Sesuai janji laki-laki itu, keduanya sekarang tengah menikmati sebuah hidangan dari jepang.

Arin tak banyak bicara saat makan sedang berlangsung, begitupun dengan Willdan yang juga menikmati makan siang keduanya dengan mengheningkan cipta.

Sesekali Arin mencuri pandangannya ke arah Willdan yang beberapa kali kedapatan sibuk dengan tablet yang dibawanya di sela-sela makan siang mereka.

Manik si cantik juga merekam bagaimana otot lengan Willdan terbentuk begitu sempurna dan pas pada tubuh tingginya.

Ingatan Arin seketika memutar kembali, dimana malam itu untuk pertama kalinya keduanya bertemu dan hampir melakukan hal bodoh.

Arin segera menggeleng cepat, mengusir pikirannya yang melalang buana. Membuat bulu-bulu halus tubuhnya meremang tak karuan.

“Kenapa?” Willdan yang sadar akan tingkah laku aneh gadis di depannya tak ragu untuk bertanya memastikan.

Arin menggeleng sebagai jawaban, “Enggak, gapapa” ucapnya langsung melanjutkan aktfitas makannya yang sempat terhenti.

Hening kembali untuk beberapa saat.

“Lo tuh kerja?” tanya Arin membuka ruang obrolan diantara keduanya.

Satu alis Willdan terangkat, seolah heran dengan gadis didepannya.

“Lo nanya gue?” Willdan balik bertanya, membuat Arin mendengus sebal.

“Haha enggak tuh, gue nanya sendok! nih sendok! Lo tuh kerja ya ndok??” ucapnya memperagakan dirinya yang seolah tengah bertanya pada sendok yang di genggamnya.

Willdan tertawa tipis melihat tingkah si cantik. “Ya kerja, kenapa?” sambungnya membalas pertanyaan Arin.

“Ohhh,,, karyawan kantor kali?” tanyanya kembali.

“Semacamnya” jawab Willdan seadanya.

Sementara Arin kembali ber-oh ria, memutus obrolan keduanya.

Setelah selesai dengan makan siang, Willdan dan Arin segera menuju parkiran mobil. Willdan merogoh kunci mobil disakunya, memberikannya kepada Arin.

Kening si cantik mengerut bingung, “Kok dikasih ke gue?” tanyanya heran.

“Lo masuk mobil duluan, gue mau sebat dulu sebentar.” jelas Willdan.

Ekspresi Arin seolah bisa Willdan tebak, gadis itu agaknya kesal dengan apa yang barusan Willdan katakan.

“Sebentar, dua menit…” izinnya.

“dua menit.” ulang si cantik lalu pergi beranjak masuk kedalam mobil.

Willdan tersenyum simpul, tangannya aktif merogoh saku celananya. Mengambil bungkus rokok yang memang biasa disimpannya, memantikan api dan membakar batang tembakau tersebut.

Arin milirik ponsel miliknya, memperhatikan waktu yang berjalan. Dua menit berlalu, dan Willdan benar menepati ucapannya. Laki-laki itu membuang puntung rokok ke sembarang tempat, menginjak sisa abu yang masih menyala. Bahkan rokok yang baru dihisapnya itu belum ada setengah terbakar.

“Kok bisa sih dia ngerokok cepet gitu” gumam Arin tanpa sadar.

“2 minutes, right?” ucap Willdan tersenyum simpul.

Tatapan keduanya bertemu, Willdan tanpa aba-aba mengikis jarak diantara keduanya. Tubuh Arin reflek mundur memberi jarak, meskipun deru nafas Willdan bisa Arin rasakan dalam jarak yang memang dekat dengannya.

Sebelum pikirannya rusak, Arin mendorong mundur tubuh Willdan.

“Apaansih lo—“ makinya kesal, namun itu malah membuat Willdan kebingungan.

“Seatbelt, lo mikir apa?” goda Willdan tersenyum miring melihat wajah Arin yang terlihat sedikit panik.

“Ya lo ngapain tiba-tiba maju gitu? bikin gue—“

“Bikin lo?” potong Willdan dengan raut penasarannya.

Arin membuang pandangannya ke arah luar kaca, gadis itu enggan menjawab atau melanjutkan kalimatnya yang terputus.

“Deg degan?” ucap Willdan menggoda.

“Ngaco!”

“Your face tells everything”

“Waitttt!! lo mau bawa gue kemana?? gue bilang gue mau pulang kan,,,,”

Arin menyadari rute jalan yang dilewatinya sama sekali bukan jalan menuju arah pulang ke rumahnya.

“Kita makan siang dulu, abis itu kita ke Seaworld setelahnya baru lo boleh pulang.” ucap Willdan enteng.

Mata si cantik membulat sempurna, “APAAN? NGGAK NGGAK!” tolaknya keras.

“Kenapa enggak?” Willdan memelankan laju mobilnya, melirik santai si cantik.

“Ya enggak aja, gue mau lanjut ngerjain skripsi” jawab si cantik mendengus kesal, tangannya sudah bersedekap dada menunjukan bahwa ia memang tidak dalam mood baiknya.

“Oke.” jawab Willdan seadanya, sedikit membuat suasana hati Arin jadi tidak enak hati.

Sesuai janji laki-laki itu, keduanya sekarang tengah menikmati sebuah hidangan dari jepang.

Arin tak banyak bicara saat makan sedang berlangsung, begitupun dengan Willdan yang juga menikmati makan siang keduanya dengan mengheningkan cipta.

Sesekali Arin mencuri pandangannya ke arah Willdan yang beberapa kali kedapatan sibuk dengan tablet yang dibawanya di sela-sela makan siang mereka.

Manik si cantik juga merekam bagaimana otot lengan Willdan terbentuk begitu sempurna dan pas pada tubuh tingginya.

Ingatan Arin seketika memutar kembali, dimana malam itu untuk pertama kalinya keduanya bertemu dan hampir melakukan hal bodoh.

Arin segera menggeleng cepat, mengusir pikirannya yang melalang buana. Membuat bulu-bulu halus tubuhnya meremang tak karuan.

“Kenapa?” Willdan yang sadar akan tingkah laku aneh gadis di depannya tak ragu untuk bertanya memastikan.

Arin menggeleng sebagai jawaban, “Enggak, gapapa” ucapnya langsung melanjutkan aktfitas makannya yang sempat terhenti.

Hening kembali untuk beberapa saat.

“Lo tuh kerja?” tanya Arin membuka ruang obrolan diantara keduanya.

Satu alis Willdan terangkat, seolah heran dengan gadis didepannya.

“Lo nanya gue?” Willdan balik bertanya, membuat Arin mendengus sebal.

“Haha enggak tuh, gue nanya sendok! nih sendok! Lo tuh kerja ya ndok??” ucapnya memperagakan dirinya yang seolah tengah bertanya pada sendok yang di genggamnya.

Willdan tertawa tipis melihat tingkah si cantik. “Ya kerja, kenapa?” sambungnya membalas pertanyaan Arin.

“Ohhh,,, karyawan kantor kali?” tanyanya kembali.

“Semacamnya” jawab Willdan seadanya.

Sementara Arin kembali ber-oh ria, memutus obrolan keduanya.

Setelah selesai dengan makan siang, Willdan dan Arin segera menuju parkiran mobil. Willdan merogoh kunci mobil disakunya, memberikannya kepada Arin.

Kening si cantik mengerut bingung, “Kok dikasih ke gue?” tanyanya heran.

“Lo masuk mobil duluan, gue mau sebat dulu sebentar.” jelas Willdan.

Ekspresi Arin seolah bisa Willdan tebak, gadis itu agaknya kesal dengan apa yang barusan Willdan katakan.

“Sebentar, dua menit…” izinnya.

“dua menit.” ulang si cantik lalu pergi beranjak masuk kedalam mobil.

Willdan tersenyum simpul, tangannya aktif merogoh saku celananya. Mengambil bungkus rokok yang memang biasa disimpannya, memantikan api dan membakar batang tembakau tersebut.

Arin milirik ponsel miliknya, memperhatikan waktu yang berjalan. Dua menit berlalu, dan Willdan benar menepati ucapannya. Laki-laki itu membuang puntung rokok ke sembarang tempat, menginjak sisa abu yang masih menyala. Bahkan rokok yang baru dihisapnya itu belum ada setengah terbakar.

“Kok bisa sih dia ngerokok cepet gitu” gumam Arin tanpa sadar.

“2 minutes, right?” ucap Willdan tersenyum simpul.

Tatapan keduanya bertemu, Willdan tanpa aba-aba mengikis jarak diantara keduanya. Tubuh Arin reflek mundur memberi jarak, meskipun deru nafas Willdan bisa Arin rasakan dalam jarak yang memang dekat dengannya.

Sebelum pikirannya rusak, Arin mendorong mundur tubuh Willdan.

“Apaansih lo—“ makinya kesal, namun itu malah membuat Willdan kebingungan.

“Seatbelt, lo mikir apa?” goda Willdan tersenyum miring melihat wajah Arin yang terlihat sedikit panik.

“Ya lo ngapain tiba-tiba maju gitu? bikin gue—“

“Bikin lo?” potong Willdan dengan raut penasarannya.

Arin membuang pandangannya ke arah luar kaca, gadis itu enggan menjawab atau melanjutkan kalimatnya yang terputus.

“Deg degan?” ucap Willdan menggoda.

“Ngaco!”

“Your face tells everything”

Perjalanan keduanya sampai di tempat yang memang sudah menjadi tujuan. Meskipun sepanjang perjalanan baik Willdan dan Arin lebih banyak diam dan hanya menikmati setiap perjalanan dengan hening, tetapi tetap terasa menyenangkan untuk keduanya.

Arin terus mengukir senyum tipisnya, di hamparan pasir putih serta angin yang bertiup menghantam dirinya, Arin terus memancarkan betapa senangnya ia hari ini.

Melupakan sejenak beban yang ada di dalam dirinya serta persoalan dirinya dengan sang kekasih.

Senyum gadis itu menular pada laki-laki yang kini lekat memandang Arin dari dalam sana. Mengambil beberapa gambar si cantik untuk dia abadikan.

Willdan merasakan getaran itu lagi, getaran yang sebelumnya belum pernah ia rasakan pada puluhan gadis yang sudah di kencaninya. Rasanya aneh, seperti ini adalah kali pertama Willdan merasakan gugup saat berada di dekat seorang wanita.

Arin mengabadikan pemandangan di depannya, tak lupa pamer dan membuat iri para sahabatnya. Gadis itu bangga karena membolos.

Arin tersipu, entah karena hal apa yang membuat pipi gadis itu merona sesaat dan cepat-cepat Arin menetralisirkan itu semua. “Lo fotoin gue diem-diem yaaa?!!” ucap Arin sedikit berteriak menghadap Willdan yang masih terduduk di dalam mobil.

Willdan mengerutkan dahinya, suara gadis di depannya sedikit samar bertabrakan dengan ombak di pantai.

“Ck!” desis Arin yang kemudian sedikit mendekatkan dirinya ke kaca mobil Willdan.

“Lo fotoin gue diem-diem, itu melanggar hak privacy tau!” oceh Arin, namun itu justru membuat Willdan merasa gemas sendiri.

“Stalking twitter gue?” tanya Willdan.

“Dih pede! kan kita mutualan” kilah si cantik.

“Lo bahkan gak ngefollback gue”

Seketika Arin dibuat membeku, wajah jutek yang dipasangnya berubah menahan malu. Arin sedikit menggigit bibir bawahnya. Otaknya berputar mencari alasan yang tepat untuk mematahkan kalimat Willdan barusan namun nihil, alias gadis itu buntu seada-adanya.

Willdan akhirnya turun dari mobil, akan sayang jika dia hanya berdiam diri memandang gadis itu dari kejauhan. Kedua manik cantik Arin mengekori setiap pergerakan Willdan, sampai laki-laki itu kini tepat berdiri disampingnya.

“Mau jalan-jalan sebentar gak?” tanya Willdan sekaligus ajakan kepada Arin.

Arin mengangguk kecil sebagai jawaban dan mengambil langkah lebih dulu dari Willdan. Willdan tersenyum tipis dibuatnya.

“Gue boleh tanya?” ucap Willdan memecah keheningan diantaranya.

Arin mengerutkan dahinya, memproses kalimat Willdan barusan, seolah menimang-nimang.

“Apa?” jawab gadis itu singkat.

“Kenapa masih bertahan?” tanya Willdan.

Arin menggeleng, “Gue nggak ngerti maksud pertanyaan lo…” kilahnya.

“Hubungan lo…” ucap Willdan memperjelas pertanyaannya.

“It’s not as simple as you seems, hubungan yang gue bangun gak sebercanda itu…” katanya membuang pandangannya ke arah laut biru.

“Well, but cheaters always be a cheater right? lo tau itu kan?”

Arin menarik nafasnya sesaat, “… but people change.”

Willdan mengangguk mengerti, sudut bibirnya terangkat.

“Gue mau pulang…” ucap Arin tiba-tiba moodnya berantakan.

“Yakin? kita masih punya banyak waktu loh…” kata Willdan melirik arloji di tangan kirinya.

“Gue mau pulang.” tegasnya berjalan meninggalkan Willdan disana. Tentu Willdan tak tinggal diam, langkah kaki laki-laki itu mengekori langkah si cantik.

Drrtt drrrttt

Sebuah notifikasi masuk dari ponsel Arin.

💬 willdan 2m ago 📷 Photo

Laki-laki dengan balutan jaket hitam melenggang memasuki area apartement yang sudah sering ia lalu lalangi. Beberapa resepsionist cantik terlihat menyapa Dipta, laki-laki yang sudah tidak asing lagi mungkin bagi staff-staff disana khususnya perempuan.

Dipta tentu tak menyia-nyiakan moment dimana ia menebarkan pesonanya dengan senyum khas miliknya, mengibaskan sedikit rambutnya dan berjalan bak model terkenal.

Kalo aja Chandra ada disampingnya sekarang, sudah pasti Dipta kena geplak.

Sembari menunggu pintu lift terbuka Dipta bersenandung dengan siulannya. Tak lama kemudian pintu lift terbuka, Dipta langsung menekan tombol lantai tujuannya.

Hening, atmosfer yang memang biasa tiap menaiki lift. Matanya yang tajam hanya menangkap sepasang kekasih yang mungkin dari perawakannya memiliki usia yang tak jauh dengannya. Serta petugas kebersihan yang membawa beberapa alat kebersihan.

Ya, Dipta sih nggak gitu peduli dengan keadaan sekitarnya.

Sampai di lantai 19, dimana apartement sang cees kentelnya berada. Nggak butuh waktu lama untuk nunggu Willdan membukakan pintu untuknya.

Dengan langkah jenjangnya Dipta memasuki apartement Willdan, menghantamkan tubuhnya ke sofa empuk milik Willdan. Dihadapannya sudah tersedia banyak cemilan dan sang pemeran utama tentunya, tidak lain ‘Wine’ yang sudah dijanjikan Willdan.

“Loh baru gue yang nyampe?” tanya Dipta dengan kedua tangannya yang aktif membuka scrup botol Wine di tangan kanannya.

Willdan hanya menggedikan kedua bahunya tak tau, dihembuskannya asap rokok yang disesapnya ke langit-langit.

“Tumben lo, tengah malem gini. ada apaan?” tanya Dipta membuka obrolan.

Willdan hanya meresponnya dengan senyum tipis, yang Dipta sendiri nggak tau maksud dari senyum laki-laki di depannya.

“Emang harus ada apa-apa kalo gue manggil lo pada?” Willdan balik bertanya.

“Ya, nggak sih…” Dipta menerima rokok dari tangan Willdan, tangan kanannya langsung sibuk mamantikan korek api untuk membakar tembakau tersebut.

Tak lama datang Chandra, Hasan dan Fahtten bersamaan. Sudah pasti Chandra beneran ngejemput Hasan dan Fahtten dulu sebelum ke apartement Willdan.

“Allah…” kalimat pembuka dari Hasan, ya iya, dia datang langsung disambut dengan yang harom-harom di depannya.

Yang lain sih hanya menyimpulkan gelak tawa.

“Cimory gue mana?” tagih Hasan, sebelum dia khilaf dengan hal-hal yang memabukan di depannya. Stay halal brother, begitu kiranya yang Hasan selalu terapkan di tengah-tengah pertemanannya dengan para titisan syeiton.

Willdan meberikan gestur tubuh menunjuk ke arah pendingin di sudut ruangan apartementnya.

“Jadi gimana?“ tanya Chandra tanpa konteks pada Willdan, yang Willdan tangkap ya tentang bagaimana dia dengan gadis yang tak sengaja ditemuinya.

“Gue gak sengaja ketemu dia…” ucap Willdan membuka obrolannya, tak lupa dengan satu tegukan Wine miliknya.

Malam ini Hasan yakin teman-temannya akan jadi beban untuknya.

“Terus??” Fahtten menyelam dalam pembicaraan.

“Gak sengaja ketemu di kedai kopi langganan gue, doi lagi nungguin orang which is cowoknya. Si cowok nggak dateng…” jelasnya panjang lebar.

“Wow, glad to hear that…” sambung Chandra yang seolah mengerti itu merupakan hal yang bagus untuk sahabatnya.

“Kok bagus sih? kasian lah anjir orang mah!” kata Hasan sembari menyedot cimory blueberrynya.

“Lo bisa diem aja gak?” omel Dipta.

“Nggak.” jawab Hasan gak kalah galak.

“Lo ajak ngobrol?” tanya Fahtten yang langsung diangguki Willdan.

“Gue ajak ngobrol, gue anter balik.” katanya bangga.

“Kok mau sih tu cewek?” bingung Chandra.

“Murahan berarti” celetuk Dipta yang langsung dapet lemparan bantal sofa, tepat di wajah glowingnya.

“Wess galak aja si bapak” Dipta tertawa menanggapi.

“Pas pulang gak sengaja ngegep cowoknya jalan sama cewek lain” Willdan menegguk Wine gelas ketiganya.

“Berantem dong?” tanya Hasan serius.

Willdan menggeleng, “Nggak ke kejar, kalo ke kejar mungkin iya.”

Hasan ber-oh ria setelah mendengar jawaban dari Willdan.

“Apasih yang buat lo tertarik banget sama itu cewek? gue liat nothing special tuh, sama aja kayak cewek lainnya…” ujar Dipta yang masih heran dengan Willdan.

“Ya emang nggak special special banget, tapi intinya gue tertarik dan suka.” tegas Willdan.

Dipta menghela nafasnya, melirik ke arah teman-temannya seolah sedang telepatih satu dengan yang lainnya. “Ya sama aja berarti kayak cewek-cewek lo sebelumnya, kemungkinan bakal jadi korban putus lo yang kesekian kalinya kan…”

Willdan tertawa, dia tidak bisa menjamin hal itu tidak akan terjadi tetapi agaknya kali ini dia ingin mengusahakannya jauh lebih baik dari sebelumnya.

“Btw, kindly reminder aja buat lo semua, tolong ya besok kita ada rapat pagi, jangan minum banyak-banyak brengsek!!” protes Hasan yang was-was ngeliat 2 botol Wine sudah kosong, berganti dengan botol wine baru lainnya.

“Yailah san kaku bener, lupa lo yang punya wilayan siape, ck!” ucap Fahtten yang langsung mengarahkan pandangannya pada Willdan.

“Semerdeka lo pada aja dah” pasrah laki-laki pecinta cimory itu.

Chandra membuka lebar balkon apartement Willdan, membiarkan udara malam hari menggerogoti seisi ruangan. Menghembuskan lepas tembakau yang dihisapnya. Chandra teringat sesuatu, hal yang kebetulan ingin ditanyakannya langsung.

“Oh iya, gue denger golden investor yang lo bilang bakal kerja sama dengan kantor kita nggak jadi? bener gak tuh?” tanyanya.

Seketika Willdan menghentikan aktifitas minumnya, “Kata siapa? Willdan malah balik bertanya.

Chandra kembali menyesap rokok tembakau miliknya, sudut bibirnya terangkat miring. Hal yang selalu membuat Chandra kesal dengan temannya itu adalah ketika pertanyaan dibalas dengan pertanyaan.

Melihat ekspresi Chandra yang sedikit bete membuat yang lain menyuarakan gelak tawa termasuk Willdan.

“Pasti jadi, gue cuma butuh atur waktu beberapa kali buat ketemu lagi dengan beliau.” ucap Willdan.

“Pede lo begitu?” cerca Hasan.

“Ofc, Kavitalan J” ucap Willdan angkuh menggulurkan tangannya pada Hasan.

Hasan menjabat tangan Willdan dengan sedikit geli.

“Iye dah Kavitalan J” katanya sedikit meledek.

“J nya apasih?” tanya Hasan serius tidak tau, sedari dulu sejak mereka semua berteman memang tidak ada yang tau J nama belakang Willdan itu memiliki kepanjangan apa.

“Jontor mungkin” celetuk Fahtten tertawa.

“Bangke jontor ahahaha” Dipta ikut tertawa.

“Jailangkung juga bisa” Chandra ikut menistakan.

“Serem dong anjing hahahaha”

“Janda bolong bisa juga ahahahaha” ucap Fahtten menambahkan lagi.

Yang dinistakan sih diem aja sambil senyum-senyum tipis. Mereka gak tau seberapa berpengaruhnya huruf J ada di akhiran namanya. Gak berpengaruh apa-apasih, biar keren aja hahaha~