What a Feeling

Mood Arin semakin memburuk kala membaca pesan singkatnya dengan Arjuna sang kekasih. Arin mengharapkan pesan Juna setidaknya bisa menghiburnya, namun rasanya Arin terlalu berharap banyak dari laki-lakinya.

“Waitttt!! lo mau bawa gue kemana?? gue bilang gue mau pulang kan,,,,”

Arin menyadari rute jalan yang dilewatinya sama sekali bukan jalan menuju arah pulang ke rumahnya.

“Kita makan siang dulu, abis itu kita ke Seaworld setelahnya baru lo boleh pulang.” ucap Willdan enteng.

Mata si cantik membulat sempurna, “APAAN? NGGAK NGGAK!” tolaknya keras.

“Kenapa enggak?” Willdan memelankan laju mobilnya, melirik santai si cantik.

“Ya enggak aja, gue mau lanjut ngerjain skripsi” jawab si cantik mendengus kesal, tangannya sudah bersedekap dada menunjukan bahwa ia memang tidak dalam mood baiknya.

“Oke.” jawab Willdan seadanya, sedikit membuat suasana hati Arin jadi tidak enak hati.

Sesuai janji laki-laki itu, keduanya sekarang tengah menikmati sebuah hidangan dari jepang.

Arin tak banyak bicara saat makan sedang berlangsung, begitupun dengan Willdan yang juga menikmati makan siang keduanya dengan mengheningkan cipta.

Sesekali Arin mencuri pandangannya ke arah Willdan yang beberapa kali kedapatan sibuk dengan tablet yang dibawanya di sela-sela makan siang mereka.

Manik si cantik juga merekam bagaimana otot lengan Willdan terbentuk begitu sempurna dan pas pada tubuh tingginya.

Ingatan Arin seketika memutar kembali, dimana malam itu untuk pertama kalinya keduanya bertemu dan hampir melakukan hal bodoh.

Arin segera menggeleng cepat, mengusir pikirannya yang melalang buana. Membuat bulu-bulu halus tubuhnya meremang tak karuan.

“Kenapa?” Willdan yang sadar akan tingkah laku aneh gadis di depannya tak ragu untuk bertanya memastikan.

Arin menggeleng sebagai jawaban, “Enggak, gapapa” ucapnya langsung melanjutkan aktfitas makannya yang sempat terhenti.

Hening kembali untuk beberapa saat.

“Lo tuh kerja?” tanya Arin membuka ruang obrolan diantara keduanya.

Satu alis Willdan terangkat, seolah heran dengan gadis didepannya.

“Lo nanya gue?” Willdan balik bertanya, membuat Arin mendengus sebal.

“Haha enggak tuh, gue nanya sendok! nih sendok! Lo tuh kerja ya ndok??” ucapnya memperagakan dirinya yang seolah tengah bertanya pada sendok yang di genggamnya.

Willdan tertawa tipis melihat tingkah si cantik. “Ya kerja, kenapa?” sambungnya membalas pertanyaan Arin.

“Ohhh,,, karyawan kantor kali?” tanyanya kembali.

“Semacamnya” jawab Willdan seadanya.

Sementara Arin kembali ber-oh ria, memutus obrolan keduanya.

Setelah selesai dengan makan siang, Willdan dan Arin segera menuju parkiran mobil. Willdan merogoh kunci mobil disakunya, memberikannya kepada Arin.

Kening si cantik mengerut bingung, “Kok dikasih ke gue?” tanyanya heran.

“Lo masuk mobil duluan, gue mau sebat dulu sebentar.” jelas Willdan.

Ekspresi Arin seolah bisa Willdan tebak, gadis itu agaknya kesal dengan apa yang barusan Willdan katakan.

“Sebentar, dua menit…” izinnya.

“dua menit.” ulang si cantik lalu pergi beranjak masuk kedalam mobil.

Willdan tersenyum simpul, tangannya aktif merogoh saku celananya. Mengambil bungkus rokok yang memang biasa disimpannya, memantikan api dan membakar batang tembakau tersebut.

Arin milirik ponsel miliknya, memperhatikan waktu yang berjalan. Dua menit berlalu, dan Willdan benar menepati ucapannya. Laki-laki itu membuang puntung rokok ke sembarang tempat, menginjak sisa abu yang masih menyala. Bahkan rokok yang baru dihisapnya itu belum ada setengah terbakar.

“Kok bisa sih dia ngerokok cepet gitu” gumam Arin tanpa sadar.

“2 minutes, right?” ucap Willdan tersenyum simpul.

Tatapan keduanya bertemu, Willdan tanpa aba-aba mengikis jarak diantara keduanya. Tubuh Arin reflek mundur memberi jarak, meskipun deru nafas Willdan bisa Arin rasakan dalam jarak yang memang dekat dengannya.

Sebelum pikirannya rusak, Arin mendorong mundur tubuh Willdan.

“Apaansih lo—“ makinya kesal, namun itu malah membuat Willdan kebingungan.

“Seatbelt, lo mikir apa?” goda Willdan tersenyum miring melihat wajah Arin yang terlihat sedikit panik.

“Ya lo ngapain tiba-tiba maju gitu? bikin gue—“

“Bikin lo?” potong Willdan dengan raut penasarannya.

Arin membuang pandangannya ke arah luar kaca, gadis itu enggan menjawab atau melanjutkan kalimatnya yang terputus.

“Deg degan?” ucap Willdan menggoda.

“Ngaco!”

“Your face tells everything”