phrrinchwe

Juna menepati janjinya, dan disinilah keduanya sekarang. Setelah canggung untuk beberapa saat, akhirnya Arin memilih mengalah dan berusaha melupakan kejadian hari kemarin.

“Happy?” tanya Juna melirik gadisnya. Yang dilirik mengangguk, membuat Juna semakin lekat mengenggam jemari sang pacar.

Singkatnya mereka berdua sudah kenyang mengisi perut, di salah satu restoran jepang favorite keduanya.

Sekarang baik Arin dan Juna sedang berjalan menuju basement, tempat mobil Juna terparkir cantik untuk beberapa saat.

Tujuan mereka sudah pasti pulang setelah perut kenyang.

Juna membukakan pintu mobil untuk Arin, bukan hal baru bagi Arin di perlakukan demikian oleh sang pacar. Arjuna memang begitu, selalu menjadikannya ratu tanpa di minta.

“Eh bentar deh, perasaan tadi kita beli chigo kok gak ada ya? kamu yang pegang kan?” Arin celingukan sendiri, melihat ke belakang mobil, bingkisan berwarna kuning mentereng itu tidak terlihat di belanjaan mereka.

Juna yang menyadari sesuatu langsung menepuk jidatnya.

“Kayaknya ketinggalan deh pas selesai bayar, aku tadi sempet ngerapihin belanjaan yang lain, malah jadi lupa kebawa…” jelas Juna mengingat-ingat.

Arin berdecak sebal, namun tidak banyak bicara kali ini.

“Yaudah kamu tunggu disini aja, aku balik ke dalem ambil makanannya.” ucap Juna bergegas turun dari mobilnya. Laki-laki berdarah chinese itu sedikit berlari mempercepat langkahnya.

Sementara Arin hanya melirik ke arah Juna sampai laki-laki itu menghilang dari pandangannya.

Untuk mengusir kebosanannya di dalam mobil, Arin memutar playlist favoritnya di mobil.

“Duh muka gue kumel banget sih disini” keluhnya saat mengaca di layar ponselnya.

Tangan lentiknya mencari sesuatu yang lupa diletakannya.

“Pouch make up gue ditaro mana ya?” gumamnya bertanya pada diri sendiri. Perempuan memang selalu begitu ya? padahal tau tujuan terakhirnya sudah mau pulang, tapi menjadi cantik tetap nomor satu.

Saat sedang mencari benda kepemilikannya, pandangan Arin jatuh pada dashboard mobil di depannya.

Arin menemukan sesuatu hal yang menarik mata cantiknya untuk penasaran, sebuah map cokelat Arin dapatkan disana.

“Apaan ya?”

Karena rasa penasarannya, Arin membuka perlahan map yang kini sudah berpindah ke tangannya.

Air muka gadis berambut panjang itu berubah drastis, tak pasti apa yang barusan dilihatnya sampai mengeluarkan ekspresi yang sulit ditebak.

“Hah…”

“Punya siapa??…” lirihnya.

Tubuh gadis itu seolah membeku di tempat, setengah tak percaya pada apa yang ia temukan barusan.

Pikiran Arin langsung melalang buana, tak mampu berpikir jernih. Apa-apa yang ada di kepalanya seolah menyerbu gadis itu untuk membuat praduga yang belum tentu benar.

Matanya terasa panas seketika, jantungnya berdegup tak karuan. Meski alasannya belum jelas, Arin ingin menangis sejadi-jadinya, dia hanya takut, takut sekali jika semua dugaannya adalah benar.


Sepanjang perjalanan pulang Arin nampak terlihat lebih diam dan hal itu tentu membuat Juna merasa tak nyaman. Ada apalagi pikirnya? Seingat Juna, keduanya sudah berbaikan.

“Kamu kenapa sayang?” tanya Arjuna, yang ternyata tidak di dengar dengan baik oleh kekasihnya.

“Sayang??”

“Eh— kenapa-kenapa?” kagetnya.

“Aku tanya kamu kenapa? ada yang kamu pikirin? dari tadi aku notice kamu banyak diem, maksud aku, bukan aku ngelarang kamu diem, tapi diem kamu tadi beda aja vibesnya” jelas Juna.

“Aku— ngga aku gapapa, emang lagi gak mood aja kali…” alibinya.

“Aku tau kalo kamu lagi bohong, tapi aku gak akan maksa kamu untuk cerita kalo memang kamu belum mau cerita…” kata Juna yang bagi Arin kekasihnya ini selalu berhasil menenangkan hatinya yang kalut, tapi emang semudah itu ya air muka Arin terbaca jelas?

Arin menelan ludahnya susah payah, gadis itu tak memiliki keberanian untuk menanyakan hal yang sedari tadi menganggu pikirannya. Arin hanya tidak siap dengan jawaban yang bisa saja berbeda dengan expetasinya.

Setelah hampir 30 menit Juna menempuh perjalanan ke rumah Arin, akhirnya laki-laki itu sampai juga di depan rumah sang kekasih.

Karin atau akrabnya Arin juga langsung bergegas keluar rumah, membukakan gerbang setelah tau suara khas kendaraan kekasihnya itu telah sampai.

Arin tidak dapat menyembunyikan rasa rindunya pada kekasih yang sudah hampir 2 tahun belakangan ini menemaninya.

Arin menghambur dalam pelukan Juna erat. Menenggelamkan wajahnya cukup lama dalam dada bidang sang kekasihnya itu. Tak peduli dengan dinginnya malam yang membuat bulu kuduknya meremang.

Juna juga sama rindunya dengan Arin, laki-laki berdarah chinese itu memeluk erat kekasihnya seolah sekian lama tahun tak berjumpa.

Juna menangkup pipi gadisnya, memberi kecupan hangat di kening sang kekasih. Jangan tanya perasaan Arin, bunga di taman mungkin tidak akan cukup untuk menggambarkan seberapa megah perasaannya saat ini.

Seperti baterai ponsel yang kembali ter charge full. Kini hanya lekuk senyum yang terus menghiasi pipi gadis itu. Tiga hari tidak diberi kabar, rasanya begitu hampa dan menyakitkan untuk Arin yang hidupnya selalu merasakan kesepian.

“Kangen! Jahat banget sih!!!” Arin memukul lengan Juna kencang, membuat laki-laki itu meringis sambil mengembangkan tawa.

“Siap salah, maaf karena sudah buat tuan putri merindu ya?” katanya yang tiba-tiba dibuat mendramatisir.

Ujung bibir Arin menarik lekukan halus, Ah, Arjuna, laki-laki itu. Dia selalu tau cara bagaimana wanitanya kembali tersenyum dan selalu jatuh dalam pesonannya.

Arin membawa masuk Juna, langkah keduanya beriringan dengan Juna yang tak melepaskan pelukannya.

“Jadi aku doang gitu yang kangen? huh??”

Juna menyelipkan anak rambut Arin yang terlihat sedikit berantakan. Juna selalu berdecak kagum dengan wajah kekasihnya itu yang dengan ataupun tanpa make up baginya tidak ada yang berubah. Cantik, selalu cantik.

“Kangen dong”

Arin memutarkan kedua bola mata cantiknya, mendengus sebal dengan jawaban Juna yang baginya tidak memuaskan.

“Kok gitu mukanya?” tanya Juna, raut wajahnya ikut mengerut bingung.

“Abis kayak orang ngga kangen tuh keliatannya…”

Arin bersedekap dada, bibirnya mempout merajuk.

Juna tau gadisnya sedang merajuk, salah satu cara untuk membuat pacarnya itu luluh ya hanya dengan pelukan.

Juna kembali membawa Arin kedalam pelukannya, kali ini lebih lama. Keduanya saling mengalirkan rasa rindu satu sama lain.

“I miss you…”

“More, sayang….”

Setelah puas dengan rasa rindu yang terbayarkan, Juna menyuruh Arin untuk segera menghabiskan makanan yang dibawanya, selagi masih hangat.

“Pelan-pelan sayang…”

Juna membersihkan sudut bibir Arin yang terlihat belepotan karena saos dan mayonaise yang menempel di sudut bibirnya.

“Kamu tuh di kantor hetic banget ada apa sih?” tanya Arin mulai membuka obrolan serius.

“Ya biasa, ada project, lumayan gede sih projectnya kalo goal aku mungkin bisa di promosiin untuk naik jabatan juga…”

Arin mengangguk mengerti, berusaha menerima alasan kekasihnya itu.

“Makanya aku sampe ngga sempet ngabarin kamu, bukan ngga sempet sih… lebih ke aku yang pusing dan ngerasa ngga pengen ngehubungin siapa-siapa dulu supaya emosi aku stabil juga. Karena beneran sepusing itu aku ngehandle project kali ini… maaf ya kalo kesannya aku egois dan ngga menghargai kamu…”

Juna memberikan belaian halus pada pucuk kepala wanitanya. Berharap pacarnya itu akan mengerti dan menerima semua alasan yang diberikannya. Ada rasa nyeri di uluh hatinya kala menatap manik cantik kekasihnya.

“Tapikan bisa kabarin aku juga kalo semisal kamu lagi butuh waktu buat sendiri…” Arin kembali memasang wajah murung.

“Iya seharusnya ya? maaf ya, aku egois…” Juna menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis. Menatap lekat manik cantik gadisnya.

Biar semarah apapun Arin, gadis itu tetap tidak bisa benar-benar marah pada kekasihnya, Arjuna.

“Gimana? dimaafin ngga akunya?”

Runtuh sudah pertahanan Arin, laki-lakinya itu terlalu tidak punya celah untuknya marah berlama-lama atau beradu argument dengannya.

Arin mengangguk, menyimpulkan senyum terbaiknya pada pacar 2 tahunnya itu.

“Gitu dong cantikk” pujinya yang tak berbohong, karena Arin memang selalu cantik di matanya.

“Eh bentar, aku mau nanya sesuatu deh…” potong Arin yang teringat sesuatu tiba-tiba.

Arin membukan ponselnya, beralih pada halaman aplikasi burung biru, atau dikenal dengan nama Twitter.

Tangan lentiknya langsung mengarah pada accoutn pribadi milik Arjuna, sang pacar.

“Ini foto pas kapan?” tanya gadis itu.

Juna terlihat diam sejenak, terbawa dalam pikirannya sesaat. Terlihat sedang mencari jawaban yang pas dari pertanyaan gadisnya.

“Oh ini, baru kok, baru hari ini… sebelum ke rumah kamu memang aku ada ketemu sama temen kantor, biasa bahas urusan kantor juga…” jawabnya penuh keyakinan, Arin sendiri tidak berpikir kalau laki-lakinya berbohong. Arin memang murni menanyakan karena rasa penasaran yang sempat menggerogoti dirinya.

“Kenapa emang?” Juna balik bertanya.

“Oh ngga-ngga, gapapa kok. Aku nanya aja hehe…”

Juna tau ada perasaan yang kekasihnya sedang sembunyikan, terlalu mudah untuknya membaca gelagat kekasih yang sudah 2 tahun bersamanya itu.

“Kenapa? kalo ada yang mau ditanyain, tanyain aja… jangan dipendem sendiri ya?”

Arin mengangguk paham, “Eh— itu sebenernya sih aku nanya itu karena aku sempet curiga ke kamu…”

“Curiga kenapa hm?” tanya si laki-laki lembut.

“Kamu selingkuh hehe…” Juna sedikit terkejut dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulut kekasihnya.

“Kenapa bisa mikir gitu?” tanyanya lagi.

“Kamu tau kan sahabat aku Sania? nah dia juga posting foto yang mirip sama kamu di twitter, bukan mirip sih emang di tempat yang sama. Cuma beda pengambilan gambar aja, terus caption kalian sama-sama ada daunnya, jam nya juga berdekatan…” jelas Arin jujur.

Dari penjelasan Arin, Juna mengerti dan paham. Wajar saja Arin bisa berpikiran seperti itu.

“Kamu udah tanya ke yang bersangkutan?”

Arin mengangguk sembari menghabiskan milkshake strawberry miliknya.

“Terus dijawab apa?”

“Foto lama katanya, lagian aku juga yang aneh sih, tempat umum kan wajar orang bisa foto dimana aja kapan aja yakan? akunya aja yang berlebihan ngait-ngaitin. Padahal emang kebetulan aja…” cerocos Arin panjang lebar.

Juna tersenyum, tangannya gemas mencubit pipi kekasihnya.

“Sekarang masih mikir aku selingkuh?” tanya Juna, dijawab dengan gelengan kepala dari Arin.

“Ngga, jangan sampe dong amit-amit!” Juna tertawa setelahnya.

“Aku ke kamar mandi dulu ya, kebelet pipis” kata Juna tiba-tiba beranjak dari sofa. Tanpa perlu persetujuan Arin, laki-laki Bagaskara itu langsung ngibrit berlari ke arah toilet yang sudah dihafalnya.

Fokus Arin kini kembali pada televisi didepannya, pun dengan cemilan ringan yang kini sudah hampir setengah dihabisinya sepanjang mengobrol dengan sang pacar.

Tinggg!

Ponsel Juna memberikan sinyal notifikasi yang masuk dari luar, pandangan Arin yang tadinya fokus kedepan kini jatuh pada layar persegi panjang milik kekasihnya.

Perasaan ingin tau tentu Arin rasakan, tapi gadis itu tidak berani untuk menyentuh ponsel milik kekasihnya sendiri.

00.44 | Kamu masih disana?

Deghhhh…

Siapa???

Setelah mendapat pesan singkat dari sahabatnya Khalif, Devin merapihkan beberapa buku yang belum sempat dibacanya kedalam ransel pun segera bergegas meninggalkan fakultasnya menuju tempat ‘biasa’ yang dimaksud oleh Khalif.

Rasa penasaran laki-laki itu kini meningkat setelah mengetahui sang sahabat berhasil mencari tau siapa dalang dibalik mystery food yang selalu didapatinya setiap pagi hari. Bagi Devin sebenarnya tidak begitu penting untuk tau siapa orangnya, hanya saja menurut laki-laki itu terasa aneh. Untuk apa orang tersebut berbaik hati memberinya sarapan setiap hari? sedangkan Devin mungkin tidak mengenalnya dan berbaik hati pada setiap orang.

Tepat disisi kanan pojok segerombol mahasiswa terlihat tengah duduk dan bercanda satu sama lain. Beberapa mahasiswa lainnya itu tentu Devin sangat kenal, ada Khalif, Fahtten, Jeffreyan serta Yuda yang sudah menunggunya disana. Seperti biasa kelimanya berkumpul di tempat yang mereka sebut Warung Pojok.

Yuda yang menyadari kehadiran Devin melambaikan tangannya memberi isyarat untuk cepat-cepat menghampiri mereka, membuat Devin sedikit berlari kecil kearahnya.

“lama dah lo vin.” celetuk Fahtten menyesapkan tembakaunya ke udara.

“kaki gue cuma dua kalo lo lupa.” ketus Devin berhasil membuat Fahtten elus dada. Gak dimana mana laki-laki yang sudah bertahun-tahun menjadi cees kentelnya itu selalu bersikap ketus bin judes. Meskipun Fahtten tau Devin memiliki sisi lain yang hanya bisa dilihat oleh sahabat-sahabatnya itu.

“to the point aja deh khal…” todongnya.

“weits gak sabaran amat pak.”

“kelas gue satu jam lagi anjir…” dengus Devin.

“bentar gue mau pastiin sesuatu dulu supaya praduga gue ini tidak menjadikan fitnah, karena apa? yak betul. fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.” ucap Khalif memasang wajah kelewat serius.

“kelamaan anjing.”

bukan Devin melainkan Yuda yang ikut kesal mendengar ucapan Khalif yang kelewat dramatis baginya.

Jeffreyan sih senyum-senyum aja ngeliatnya.

“lo tadi dapet apa?” tanya Khalif yang membuat kening Devin mengerut bingung.

“konteksnya apa anjing! bener bener dah lo khal, jangan ikutan Devin kalo ngomong ambiguan. Cakep kaga minta ditonjok iya.” kali ini Fahtten yang kesal gregetan sampai melayangkan toyoran di kepala Khalif. Yang ditoyor cengar-cengir kedemenan. Emang strategi Khalif ngebuat kesel temen-temennya. Jarang-jarang Khalif usil begini.

“gini lohh, pagi ini lo dapet sarapan apa? maksud gue ada yang naro makanan lagi gak kayak kemaren?” ucap Khalif serius.

“dapet, cuma satpam yang ngasih langsung.”

brakkk

“nah ituuu!!”

“bangsat bisa kan gak pake gebrak meja?? lo mau gue kena serangan jantung mendadak!!” itu Yuda yang hampir aja jantungnya loncat dari tempat dan keselek jengkol karena gak siap sama aba-aba gebrakan meja Khalif. Masalahnya doi lagi mode serius ngedengerin ceritanya sambil makan nasi uduk warjok Teteh Sani tercinta.

“sorry-sorry hehe”

“kebanyakan intrupsi, kelas gue lima belas menit lagi ini jirr.” Jeffreyan yang dari tadi banyak diem mulai bersuara. Bukan apa-apa sih, kelas dia ada kuis hari ini dan ya lima belas menit lagi dimulainya.

“isinya bubur bukan?” tanya Khalif yang diangguki oleh Devin.

“bener berarti!” Devin mendengus kesal ingin buru-buru menyudahi percakapan yang sebenarnya gak begitu penting buat dia.

“ya allah bisa dipercepat gak ini?” gemas Jeffreyan.

“siapa orangnya?” to the point Devin.

“si Karin anak manajemen! yang ngejar-ngejar lo itu vin.”

“lah si Karin? yang satu sekolah juga kan sama kita dulu SMA?” Yuda memastikan lagi.

“iya dia” angguk Khalif.

“bentar-bentar ini lo bisa nuduh dia kenape nih? jangan-jangan cuma karena dia beli bubur juga lagi. makanya lo bersepkulasi sedemikian.” kali ini Fahtten memberikan suaranya diiringi anggukan Jeffreyan dan Yuda yang setuju. Barangkali dugaan Khalif meleset.

“ngga anjir, ini mah fix si Karin. kemaren lo dapet mentai rice sama kopi kan vin? nah paginya itu gue sempet ketemu dia di tempat yang jual mentai deket kostan kita!”

“gue liat dia bawa banyak ada kopi juga. awalnya juga gue gak mau berspekulasi kalo itu dia, soalnya kan ya bisa aja kebetulan doang lagi beli mentai sama kopi yakan. tapi pagi ini juga sama gue ketemu dia di tukang bubur perempatan, sempet gue sapa juga terus dia kayak yang buru-buru gitu.” Yuda yang lagi berusaha ngabisin semur jengkolnya jadi berhenti sejenak. Sebenernya biar ala-ala aja sih kalo dia terbawa suasana cerita padahal mah ngga ngaruh juga tuh.

“dugaan lo masih belum kuat gak sih?” celetuk Jeffreyan.

“pala lo jajar genjang! udah fix soalnya gue liat dia ngasih bubur ke satpam tadi pagi persis Devin bilang kalo kali ini satpam yang ngasih.”

“lah siapa tau pak satpam kenyang udah sarapan terus dari pada dibuang mending dikasih orang yakan?” Fahtten ikut menerka-nerka kemungkinan.

“terus kebetulan yang ada di depan mata pak satpam si Devin.” imbuh Jeffreyan.

Devin yang malas mengeluarkan pendapatnya cuma membiarkan dirinya bergelut sendiri dengan pikirannya.

“lah logika kenapa harus Devin?” sangkal Khalif.

“ya karena emang kebetulan adanya Devin.” balas Jeffreyan.

“ya allah ribet banget anjing perkara makanan doang.” Yuda geleng-geleng kepala sendiri sambil terus menghayati nikmatnya makan jengkol buatan Teteh Sani. edunn gak ada lawan!

“gue cabut, bentar lagi kelas.” pamit Devin meninggalkan keempat dari mereka.

“anjing vin tungguin!!! ya allah anak setan jengkol gue belom abis vinnnn!!” teriak Yuda yang emang satu jurusan dengan Devin.

“gue juga cabut deh, ada kuis.” pamit Jeffreyan berlari menyusul Devin diikuti Fahtten selanjutnya.

“cabut bro” ucap Fahtten menepuk pundak kedua sahabatnya.

Yuda melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 09.35 yang artinya kelasnya sudah dimulai sejak lima menit yang lalu. Buru-buru Yuda menyelesaikan makannya.

“anjirlah telat”

“teh kasbon dulu nya? teu nanaonan kan? buru-buru nih teh udah telat.” ucap Yuda grasak grusuk sendiri. Teh Sani yang udah biasa di kasbonin Yuda cuma geleng-geleng acungin jempol. nu penting mah ulah kabur aja. kalo ngga teflon Teh Sani melayang.

“Khal lo gak kelas???” teriak Yuda sembari berlari membelakangi Khalif.

“Jam 10.” teriak Khalif.

“gunanya gue cerita apaan ya?” gumamnya pada diri sendiri.

“tau ah anjir yang penting gue udah kasih tau.”


flashback

Di tengah perjalan Khalif membeli pecel langganannya, Khalif melihat sosok yang dikenalnya tengah membawa beberapa bungkus makanan yang Khalif yakini isinya mentai rice. Soalnya Khalif ngeliat posternya bertuliskan mentai rice mama icha ngga cuma itu Khalif juga ngeliat kantong belanja di tangan kanan gadis yang di kenalnya itu penuh dengan kopi kopian.

Tadinya Khalif mau nyapa, tapi ngga keburu karena si cewek yang keliatan lagi buru-buru juga.

Besoknya Khalif kembali dipertemukan secara ngga sengaja oleh gadis yang sama. Yang ngebuat laki-laki itu berspekulasi sedemikian rupa.

“Karin?”

Yang disapa menyimpulkan senyum.

“banyak banget belinya, buat siapa?”

“eh—itu anu titipan temen biasa, gue duluan ya khal kalo gitu.”

“oh iya iya deh, hati-hati rin.” ucap Khalif. Matanya mengekori langkah kaki Karin sampai pada mobil yang ditumpanginya.

“aneh dahh…” gumamnya.

Setelah mendapat pesan singkat dari sahabatnya Khalif, Devin merapihkan beberapa buku yang belum sempat dibacanya kedalam ransel pun segera bergegas meninggalkan fakultasnya menuju tempat ‘biasa’ yang dimaksud oleh Khalif.

Rasa penasaran laki-laki itu kini meningkat setelah mengetahui sang sahabat berhasil mencari tau siapa dalang dibalik mystery food yang selalu didapatinya setiap pagi hari. Bagi Devin sebenarnya tidak begitu penting untuk tau siapa orangnya, hanya saja menurut laki-laki itu terasa aneh. Untuk apa orang tersebut berbaik hati memberinya sarapan setiap hari? sedangkan Devin mungkin tidak mengenalnya dan berbaik hati pada setiap orang.

Tepat disisi kanan pojok segerombol mahasiswa terlihat tengah duduk dan bercanda satu sama lain. Beberapa mahasiswa lainnya itu tentu Devin sangat kenal, ada Khalif, Fahtten, Jeffreyan serta Yuda yang sudah menunggunya disana. Seperti biasa kelimanya berkumpul di tempat yang mereka sebut Warung Pojok.

Yuda yang menyadari kehadiran Devin melambaikan tangannya memberi isyarat untuk cepat-cepat menghampiri mereka, membuat Devin sedikit berlari kecil kearahnya.

“lama dah lo vin.” celetuk Fahtten menyesapkan tembakaunya ke udara.

“kaki gue cuma dua kalo lo lupa.” ketus Devin berhasil membuat Fahtten elus dada. Gak dimana mana laki-laki yang sudah bertahun-tahun menjadi cees kentelnya itu selalu bersikap ketus bin judes. Meskipun Fahtten tau Devin memiliki sisi lain yang hanya bisa dilihat oleh sahabat-sahabatnya itu.

“to the point aja deh khal…” todongnya.

“weits gak sabaran amat pak.”

“kelas gue satu jam lagi anjir…” dengus Devin.

“bentar gue mau pastiin sesuatu dulu supaya praduga gue ini tidak menjadikan fitnah, karena apa? yak betul. fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.” ucap Khalif memasang wajah kelewat serius.

“kelamaan anjing.”

bukan Devin melainkan Yuda yang ikut kesal mendengar ucapan Khalif yang kelewat dramatis baginya.

Jeffreyan sih senyum-senyum aja ngeliatnya.

“lo tadi dapet apa?” tanya Khalif yang membuat kening Devin mengerut bingung.

“konteksnya apa anjing! bener bener dah lo khal, jangan ikutan Devin kalo ngomong ambiguan. Cakep kaga minta ditonjok iya.” kali ini Fahtten yang kesal gregetan sampai melayangkan toyoran di kepala Khalif. Yang ditoyor cengar-cengir kedemenan. Emang strategi Khalif ngebuat kesel temen-temennya. Jarang-jarang Khalif usil begini.

“gini lohh, pagi ini lo dapet sarapan apa? maksud gue ada yang naro makanan lagi gak kayak kemaren?” ucap Khalif serius.

“dapet, cuma satpam yang ngasih langsung.”

brakkk

“nah ituuu!!”

“bangsat bisa kan gak pake gebrak meja?? lo mau gue kena serangan jantung mendadak!!” itu Yuda yang hampir aja jantungnya loncat dari tempat dan keselek jengkol karena gak siap sama aba-aba gebrakan meja Khalif. Masalahnya doi lagi mode serius ngedengerin ceritanya sambil makan nasi uduk warjok Teteh Sani tercinta.

“sorry-sorry hehe”

“kebanyakan intrupsi, kelas gue lima belas menit lagi ini jirr.” Jeffreyan yang dari tadi banyak diem mulai bersuara. Bukan apa-apa sih, kelas dia ada kuis hari ini dan ya lima belas menit lagi dimulainya.

“isinya bubur bukan?” tanya Khalif yang diangguki oleh Devin.

“bener berarti!” Devin mendengus kesal ingin buru-buru menyudahi percakapan yang sebenarnya gak begitu penting buat dia.

“ya allah bisa dipercepat gak ini?” gemas Jeffreyan.

“siapa orangnya?” to the point Devin.

“si Karin anak manajemen! yang ngejar-ngejar lo itu vin.”

“lah si Karin? yang satu sekolah juga kan sama kita dulu SMA?” Yuda memastikan lagi.

“iya dia” angguk Khalif.

“bentar-bentar ini lo bisa nuduh dia kenape nih? jangan-jangan cuma karena dia beli bubur juga lagi. makanya lo bersepkulasi sedemikian.” kali ini Fahtten memberikan suaranya diiringi anggukan Jeffreyan dan Yuda yang setuju. Barangkali dugaan Khalif meleset.

“ngga anjir, ini mah fix si Karin. kemaren lo dapet mentai rice sama kopi kan vin? nah paginya itu gue sempet ketemu dia di tempat yang jual mentai deket kostan kita!”

“gue liat dia bawa banyak ada kopi juga. awalnya juga gue gak mau berspekulasi kalo itu dia, soalnya kan ya bisa aja kebetulan doang lagi beli mentai sama kopi yakan. tapi pagi ini juga sama gue ketemu dia di tukang bubur perempatan, sempet gue sapa juga terus dia kayak yang buru-buru gitu.” Yuda yang lagi berusaha ngabisin semur jengkolnya jadi berhenti sejenak. Sebenernya biar ala-ala aja sih kalo dia terbawa suasana cerita padahal mah ngga ngaruh juga tuh.

“dugaan lo masih belum kuat gak sih?” celetuk Jeffreyan.

“pala lo jajar genjang! udah fix soalnya gue liat dia ngasih bubur ke satpam tadi pagi persis Devin bilang kalo kali ini satpam yang ngasih.”

“lah siapa tau pak satpam kenyang udah sarapan terus dari pada dibuang mending dikasih orang yakan?” Fahtten ikut menerka-nerka kemungkinan.

“terus kebetulan yang ada di depan mata pak satpam si Devin.” imbuh Jeffreyan.

Devin yang malas mengeluarkan pendapatnya cuma membiarkan dirinya bergelut sendiri dengan pikirannya.

“lah logika kenapa harus Devin?” sangkal Khalif.

“ya karena emang kebetulan adanya Devin.” balas Jeffreyan.

“ya allah ribet banget anjing perkara makanan doang.” Yuda geleng-geleng kepala sendiri sambil terus menghayati nikmatnya makan jengkol buatan Teteh Sani. edunn gak ada lawan!

“gue cabut, bentar lagi kelas.” pamit Devin meninggalkan keempat dari mereka.

“anjing vin tungguin!!! ya allah anak setan jengkol gue belom abis vinnnn!!” teriak Yuda yang emang satu jurusan dengan Devin.

“gue juga cabut deh, ada kuis.” pamit Jeffreyan berlari menyusul Devin diikuti Fahtten selanjutnya.

“cabut bro” ucap Fahtten menepuk pundak kedua sahabatnya.

Yuda melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 09.35 yang artinya kelasnya sudah dimulai sejak lima menit yang lalu. Buru-buru Yuda menyelesaikan makannya.

“anjirlah telat”

“teh kasbon dulu nya? teu nanaonan kan? buru-buru nih teh udah telat.” ucap Yuda grasak grusuk sendiri. Teh Sani yang udah biasa di kasbonin Yuda cuma geleng-geleng acungin jempol. nu penting mah ulah kabur aja. kalo ngga teflon Teh Sani melayang.

“Khal lo gak kelas???” teriak Yuda sembari berlari membelakangi Khalif.

“Jam 10.” teriak Khalif.

“gunanya gue cerita apaan ya?” gumamnya pada diri sendiri.

“tau ah anjir yang penting gue udah kasih tau.”


flashback

Di tengah perjalan Khalif membeli pecel langganannya, Khalif melihat sosok yang dikenalnya tengah membawa beberapa bungkus makanan yang Khalif yakini isinya mentai rice. Soalnya Khalif ngeliat posternya bertuliskan mentai rice mama icha ngga cuma itu Khalif juga ngeliat kantong belanja di tangan kanan gadis yang di kenalnya itu penuh dengan kopi kopian.

Tadinya Khalif mau nyapa, tapi ngga keburu karena si cewek yang keliatan lagi buru-buru juga.

Besoknya Khalif kembali dipertemukan secara ngga sengaja oleh gadis yang sama. Yang ngebuat laki-laki itu berspekulasi sedemikian rupa.

“Karin?”

Yang disapa menyimpulkan senyum.

“banyak banget belinya, buat siapa?”

“eh—itu anu titipan temen biasa, gue duluan ya khal kalo gitu.”

“oh iya iya deh, hati-hati rin.” ucap Khalif. Matanya mengekori langkah kaki Karin sampai pada mobil yang ditumpanginya.

“aneh dahh…” gumamnya.

Setelah mendapat pesan singkat dari sahabatnya Khalif, Devin merapihkan beberapa buku yang belum sempat dibacanya kedalam ransel pun segera bergegas meninggalkan fakultasnya menuju tempat ‘biasa’ yang dimaksud oleh Khalif.

Rasa penasaran laki-laki itu kini meningkat setelah mengetahui sang sahabat berhasil mencari tau siapa dalang dibalik mystery food yang selalu didapatinya setiap pagi hari. Bagi Devin sebenarnya tidak begitu penting untuk tau siapa orangnya, hanya saja menurut laki-laki itu terasa aneh. Untuk apa orang tersebut berbaik hati memberinya sarapan setiap hari? sedangkan Devin mungkin tidak mengenalnya dan berbaik hati pada setiap orang.

Tepat disisi kanan pojok segerombol mahasiswa terlihat tengah duduk dan bercanda satu sama lain. Beberapa mahasiswa lainnya itu tentu Devin sangat kenal, ada Khalif, Fahtten, Jeffreyan serta Yuda yang sudah menunggunya disana. Seperti biasa kelimanya berkumpul di tempat yang mereka sebut Warung Pojok.

Yuda yang menyadari kehadiran Devin melambaikan tangannya memberi isyarat untuk cepat-cepat menghampiri mereka, membuat Devin sedikit berlari kecil kearahnya.

“lama dah lo vin.” celetuk Fahtten menyesapkan tembakaunya ke udara.

“kaki gue cuma dua kalo lo lupa.” ketus Devin berhasil membuat Fahtten elus dada. Gak dimana mana laki-laki yang sudah bertahun-tahun menjadi cees kentelnya itu selalu bersikap ketus bin judes. Meskipun Fahtten tau Devin memiliki sisi lain yang hanya bisa dilihat oleh sahabat-sahabatnya itu.

“to the point aja deh khal…” todongnya.

“weits gak sabaran amat pak.”

“kelas gue satu jam lagi anjir…” dengus Devin.

“bentar gue mau pastiin sesuatu dulu supaya praduga gue ini tidak menjadikan fitnah, karena apa? yak betul. fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.” ucap Khalif memasang wajah kelewat serius.

“kelamaan anjing.”

bukan Devin melainkan Yuda yang ikut kesal mendengar ucapan Khalif yang kelewat dramatis baginya.

Jeffreyan sih senyum-senyum aja ngeliatnya.

“lo tadi dapet apa?” tanya Khalif yang membuat kening Devin mengerut bingung.

“konteksnya apa anjing! bener bener dah lo khal, jangan ikutan Devin kalo ngomong ambiguan. Cakep kaga minta ditonjok iya.” kali ini Fahtten yang kesal gregetan sampai melayangkan toyoran di kepala Khalif. Yang ditoyor cengar-cengir kedemenan. Emang strategi Khalif ngebuat kesel temen-temennya. Jarang-jarang Khalif usil begini.

“gini lohh, pagi ini lo dapet sarapan apa? maksud gue ada yang naro makanan lagi gak kayak kemaren?” ucap Khalif serius.

“dapet, cuma satpam yang ngasih langsung.”

brakkk

“nah ituuu!!”

“bangsat bisa kan gak pake gebrak meja?? lo mau gue kena serangan jantung mendadak!!” itu Yuda yang hampir aja jantungnya loncat dari tempat dan keselek jengkol karena gak siap sama aba-aba gebrakan meja Khalif. Masalahnya doi lagi mode serius ngedengerin ceritanya sambil makan nasi uduk warjok Teteh Sanu tercinta.

“sorry-sorry hehe”

“kebanyakan intrupsi, kelas gue lima belas menit lagi ini jirr.” Jeffreyan yang dari tadi banyak diem mulai bersuara. Bukan apa-apa sih, kelas dia ada kuis hari ini dan ya lima belas menit lagi dimulainya.

“isinya bubur bukan?” tanya Khalif yang diangguki oleh Devin.

“bener berarti!” Devin mendengus kesal ingin buru-buru menyudahi percakapan yang sebenarnya gak begitu penting buat dia.

“ya allah bisa dipercepat gak ini?” gemas Jeffreyan.

“siapa orangnya?” to the point Devin.

“si Karin anak manajemen! yang ngejar-ngejar lo itu vin.”

“lah si Karin? yang satu sekolah juga kan sama kita dulu SMA?” Yuda memastikan lagi.

“iya dia” angguk Khalif.

“bentar-bentar ini lo bisa nuduh dia kenape nih? jangan-jangan cuma karena dia beli bubur juga lagi. makanya lo bersepkulasi sedemikian.” kali ini Fahtten memberikan suaranya diiringi anggukan Jeffreyan dan Yuda yang setuju. Barangkali dugaan Khalif meleset.

“ngga anjir, ini mah fix si Karin. kemaren lo dapet mentai rice sama kopi kan vin? nah paginya itu gue sempet ketemu dia di tempat yang jual mentai deket kostan kita!”

“gue liat dia bawa banyak ada kopi juga. awalnya juga gue gak mau berspekulasi kalo itu dia, soalnya kan ya bisa aja kebetulan doang lagi beli mentai sama kopi yakan. tapi pagi ini juga sama gue ketemu dia di tukang bubur perempatan, sempet gue sapa juga terus dia kayak yang buru-buru gitu.” Yuda yang lagi berusaha ngabisin semur jengkolnya jadi berhenti sejenak. Sebenernya biar ala-ala aja sih kalo dia terbawa suasana cerita padahal mah ngga ngaruh juga tuh.

“dugaan lo masih belum kuat gak sih?” celetuk Jeffreyan.

“pala lo jajar genjang! udah fix soalnya gue liat dia ngasih bubur ke satpam tadi pagi persis Devin bilang kalo kali ini satpam yang ngasih.”

“lah siapa tau pak satpam kenyang udah sarapan terus dari pada dibuang mending dikasih orang yakan?” Fahtten ikut menerka-nerka kemungkinan.

“terus kebetulan yang ada di depan mata pak satpam si Devin.” imbuh Jeffreyan.

Devin yang malas mengeluarkan pendapatnya cuma membiarkan dirinya bergelut sendiri dengan pikirannya.

“lah logika kenapa harus Devin?” sangkal Khalif.

“ya karena emang kebetulan adanya Devin.” balas Jeffreyan.

“ya allah ribet banget anjing perkara makanan doang.” Yuda geleng-geleng kepala sendiri sambil terus menghayati nikmatnya makan jengkol buatan Teteh Sani. edunn gak ada lawan!

“gue cabut, bentar lagi kelas.” pamit Devin meninggalkan keempat dari mereka.

“anjing vin tungguin!!! ya allah anak setan jengkol gue belom abis vinnnn!!” teriak Yuda yang emang satu jurusan dengan Devin.

“gue juga cabut deh, ada kuis.” pamit Jeffreyan berlari menyusul Devin diikuti Fahtten selanjutnya.

“cabut bro” ucap Fahtten menepuk pundak kedua sahabatnya.

Yuda melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 09.35 yang artinya kelasnya sudah dimulai sejak lima menit yang lalu. Buru-buru Yuda menyelesaikan makannya.

“anjirlah telat”

“teh kasbon dulu nya? teu nanaonan kan? buru-buru nih teh udah telat.” ucap Yuda grasak grusuk sendiri. Teh Sani yang udah biasa di kasbonin Yuda cuma geleng-geleng acungin jempol. nu penting mah ulah kabur aja. kalo ngga teflon Teh Sani melayang.

“Khal lo gak kelas???” teriak Yuda sembari berlari membelakangi Khalif.

“Jam 10.” teriak Khalif.

“gunanya gue cerita apaan ya?” gumamnya pada diri sendiri.

“tau ah anjir yang penting gue udah kasih tau.”


flashback

*Di tengah perjalan Khalif membeli pecel langganannya, Khalif melihat sosok yang dikenalnya tengah membawa beberapa bungkus makanan yang Khalif yakini isinya mentai rice. Soalnya Khalif ngeliat posternya bertuliskan mentai rice mama icha ngga cuma itu Khalif juga ngeliat kantong belanja di tangan kanan gadis yang di kenalnya itu penuh dengan kopi kopian.*

Tadinya Khalif mau nyapa, tapi ngga keburu karena si cewek yang keliatan lagi buru-buru juga.

Besoknya Khalif kembali dipertemukan secara ngga sengaja oleh gadis yang sama. Yang ngebuat laki-laki itu berspekulasi sedemikian rupa.

“Karin?”

Yang disapa menyimpulkan senyum.

“banyak banget belinya, buat siapa?”

“eh—itu anu titipan temen biasa, gue duluan ya khal kalo gitu.”

“oh iya iya deh, hati-hati rin.” ucap Khalif. Matanya mengekori langkah kaki Karin sampai pada mobil yang ditumpanginya.

“aneh dahh…” gumamnya.

Setelah mendapat pesan singkat dari sahabatnya Khalif, Devin merapihkan beberapa buku yang belum sempat dibacanya kedalam ransel pun segera bergegas meninggalkan fakultasnya menuju tempat ‘biasa’ yang dimaksud oleh Khalif.

Rasa penasaran laki-laki itu kini meningkat setelah mengetahui sang sahabat berhasil mencari tau siapa dalang dibalik mystery food yang selalu didapatinya setiap pagi hari. Bagi Devin sebenarnya tidak begitu penting untuk tau siapa orangnya, hanya saja menurut laki-laki itu terasa aneh. Untuk apa orang tersebut berbaik hati memberinya sarapan setiap hari? sedangkan Devin mungkin tidak mengenalnya dan berbaik hati pada setiap orang.

Tepat disisi kanan pojok segerombol mahasiswa terlihat tengah duduk dan bercanda satu sama lain. Beberapa mahasiswa lainnya itu tentu Devin sangat kenal, ada Khalif, Fahtten, Jeffreyan serta Yuda yang sudah menunggunya disana. Seperti biasa kelimanya berkumpul di tempat yang mereka sebut Warung Pojok.

Yuda yang menyadari kehadiran Devin melambaikan tangannya memberi isyarat untuk cepat-cepat menghampiri mereka, membuat Devin sedikit berlari kecil kearahnya.

“lama dah lo vin.” celetuk Fahtten menyesapkan tembakaunya ke udara.

“kaki gue cuma dua kalo lo lupa.” ketus Devin berhasil membuat Fahtten elus dada. Gak dimana mana laki-laki yang sudah bertahun-tahun menjadi cees kentelnya itu selalu bersikap ketus bin judes. Meskipun Fahtten tau Devin memiliki sisi lain yang hanya bisa dilihat oleh sahabat-sahabatnya itu.

“to the point aja deh khal…” todongnya.

“weits gak sabaran amat pak.”

“kelas gue satu jam lagi anjir…” dengus Devin.

“bentar gue mau pastiin sesuatu dulu supaya praduga gue ini tidak menjadikan fitnah, karena apa? yak betul. fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.” ucap Khalif memasang wajah kelewat serius.

“kelamaan anjing.”

bukan Devin melainkan Yuda yang ikut kesal mendengar ucapan Khalif yang kelewat dramatis baginya.

Jeffreyan sih senyum-senyum aja ngeliatnya.

“lo tadi dapet apa?” tanya Khalif yang membuat kening Devin mengerut bingung.

“konteksnya apa anjing! bener bener dah lo khal, jangan ikutan Devin kalo ngomong ambiguan. Cakep kaga minta ditonjok iya.” kali ini Fahtten yang kesal gregetan sampai melayangkan toyoran di kepala Khalif. Yang ditoyor cengar-cengir kedemenan. Emang strategi Khalif ngebuat kesel temen-temennya. Jarang-jarang Khalif usil begini.

“gini lohh, pagi ini lo dapet sarapan apa? maksud gue ada yang naro makanan lagi gak kayak kemaren?” ucap Khalif serius.

“dapet, cuma satpam yang ngasih langsung.”

brakkk

“nah ituuu!!”

“bangsat bisa kan gak pake gebrak meja?? lo mau gue kena serangan jantung mendadak!!” itu Yuda yang hampir aja jantungnya loncat dari tempat dan keselek jengkol karena gak siap sama aba-aba gebrakan meja Khalif. Masalahnya doi lagi mode serius ngedengerin ceritanya sambil makan nasi uduk warjok Teteh Sanu tercinta.

“sorry-sorry hehe”

“kebanyakan intrupsi, kelas gue lima belas menit lagi ini jirr.” Jeffreyan yang dari tadi banyak diem mulai bersuara. Bukan apa-apa sih, kelas dia ada kuis hari ini dan ya lima belas menit lagi dimulainya.

“isinya bubur bukan?” tanya Khalif yang diangguki oleh Devin.

“bener berarti!” Devin mendengus kesal ingin buru-buru menyudahi percakapan yang sebenarnya gak begitu penting buat dia.

“ya allah bisa dipercepat gak ini?” gemas Jeffreyan.

“siapa orangnya?” to the point Devin.

“si Karin anak manajemen! yang ngejar-ngejar lo itu vin.”

“lah si Karin? yang satu sekolah juga kan sama kita dulu SMA?” Yuda memastikan lagi.

“iya dia” angguk Khalif.

“bentar-bentar ini lo bisa nuduh dia kenape nih? jangan-jangan cuma karena dia beli bubur juga lagi. makanya lo bersepkulasi sedemikian.” kali ini Fahtten memberikan suaranya diiringi anggukan Jeffreyan dan Yuda yang setuju. Barangkali dugaan Khalif meleset.

“ngga anjir, ini mah fix si Karin. kemaren lo dapet mentai rice sama kopi kan vin? nah paginya itu gue sempet ketemu dia di tempat yang jual mentai deket kostan kita!”

“gue liat dia bawa banyak ada kopi juga. awalnya juga gue gak mau berspekulasi kalo itu dia, soalnya kan ya bisa aja kebetulan doang lagi beli mentai sama kopi yakan. tapi pagi ini juga sama gue ketemu dia di tukang bubur perempatan, sempet gue sapa juga terus dia kayak yang buru-buru gitu.” Yuda yang lagi berusaha ngabisin semur jengkolnya jadi berhenti sejenak. Sebenernya biar ala-ala aja sih kalo dia terbawa suasana cerita padahal mah ngga ngaruh juga tuh.

“dugaan lo masih belum kuat gak sih?” celetuk Jeffreyan.

“pala lo jajar genjang! udah fix soalnya gue liat dia ngasih bubur ke satpam tadi pagi persis Devin bilang kalo kali ini satpam yang ngasih.”

“lah siapa tau pak satpam kenyang udah sarapan terus dari pada dibuang mending dikasih orang yakan?” Fahtten ikut menerka-nerka kemungkinan.

“terus kebetulan yang ada di depan mata pak satpam si Devin.” imbuh Jeffreyan.

Devin yang malas mengeluarkan pendapatnya cuma membiarkan dirinya bergelut sendiri dengan pikirannya.

“lah logika kenapa harus Devin?” sangkal Khalif.

“ya karena emang kebetulan adanya Devin.” balas Jeffreyan.

“ya allah ribet banget anjing perkara makanan doang.” Yuda geleng-geleng kepala sendiri sambil terus menghayati nikmatnya makan jengkol buatan Teteh Sani. edunn gak ada lawan!

“gue cabut, bentar lagi kelas.” pamit Devin meninggalkan keempat dari mereka.

“anjing vin tungguin!!! ya allah anak setan jengkol gue belom abis vinnnn!!” teriak Yuda yang emang satu jurusan dengan Devin.

“gue juga cabut deh, ada kuis.” pamit Jeffreyan berlari menyusul Devin diikuti Fahtten selanjutnya.

“cabut bro” ucap Fahtten menepuk pundak kedua sahabatnya.

Yuda melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 09.35 yang artinya kelasnya sudah dimulai sejak lima menit yang lalu. Buru-buru Yuda menyelesaikan makannya.

“anjirlah telat”

“teh kasbon dulu nya? teu nanaonan kan? buru-buru nih teh udah telat.” ucap Yuda grasak grusuk sendiri. Teh Sani yang udah biasa di kasbonin Yuda cuma geleng-geleng acungin jempol. nu penting mah ulah kabur aja. kalo ngga teflon Teh Sani melayang.

“Khal lo gak kelas???” teriak Yuda sembari berlari membelakangi Khalif.

“Jam 10.” teriak Khalif.

“gunanya gue cerita apaan ya?” gumamnya pada diri sendiri.

“tau ah anjir yang penting gue udah kasih tau.”


flashback

Di tengah perjalan Khalif membeli pecel langganannya, Khalif melihat sosok yang dikenalnya tengah membawa beberapa bungkus makanan yang Khalif yakini isinya mentai rice. Soalnya Khalif ngeliat posternya bertuliskan mentai rice mama icha ngga cuma itu Khalif juga ngeliat kantong belanja di tangan kanan gadis yang di kenalnya itu penuh dengan kopi kopian.

Tadinya Khalif mau nyapa, tapi ngga keburu karena si cewek yang keliatan lagi buru-buru juga.

Besoknya Khalif kembali dipertemukan secara ngga sengaja oleh gadis yang sama. Yang ngebuat laki-laki itu berspekulasi sedemikian rupa.

“Karin?”

Yang disapa menyimpulkan senyum.

“banyak banget belinya, buat siapa?”

“eh—itu anu titipan temen biasa, gue duluan ya khal kalo gitu.”

“oh iya iya deh, hati-hati rin.” ucap Khalif. Matanya mengekori langkah kaki Karin sampai pada mobil yang ditumpanginya.

“aneh dahh…” gumamnya.

Setelah mendapat pesan singkat dari sahabatnya Khalif, Devin merapihkan beberapa buku yang belum sempat dibacanya kedalam ransel pun segera bergegas meninggalkan fakultasnya menuju tempat ‘biasa’ yang dimaksud oleh Khalif.

Rasa penasaran laki-laki itu kini meningkat setelah mengetahui sang sahabat berhasil mencari tau siapa dalang dibalik mystery food yang selalu didapatinya setiap pagi hari. Bagi Devin sebenarnya tidak begitu penting untuk tau siapa orangnya, hanya saja menurut laki-laki itu terasa aneh. Untuk apa orang tersebut berbaik hati memberinya sarapan setiap hari? sedangkan Devin mungkin tidak mengenalnya dan berbaik hati pada setiap orang.

Tepat disisi kanan pojok segerombol mahasiswa terlihat tengah duduk dan bercanda satu sama lain. Beberapa mahasiswa lainnya itu tentu Devin sangat kenal, ada Khalif, Fahtten, Jeffreyan serta Yuda yang sudah menunggunya disana. Seperti biasa kelimanya berkumpul di tempat yang mereka sebut Warung Pojok.

Yuda yang menyadari kehadiran Devin melambaikan tangannya memberi isyarat untuk cepat-cepat menghampiri mereka, membuat Devin sedikit berlari kecil kearahnya.

“lama dah lo vin.” celetuk Fahtten menyesapkan tembakaunya ke udara.

“kaki gue cuma dua kalo lo lupa.” ketus Devin berhasil membuat Fahtten elus dada. Gak dimana mana laki-laki yang sudah bertahun-tahun menjadi cees kentelnya itu selalu bersikap ketus bin judes. Meskipun Fahtten tau Devin memiliki sisi lain yang hanya bisa dilihat oleh sahabat-sahabatnya itu.

“to the point aja deh khal…” todongnya.

“weits gak sabaran amat pak.”

“kelas gue satu jam lagi anjir…” dengus Devin.

“bentar gue mau pastiin sesuatu dulu supaya praduga gue ini tidak menjadikan fitnah, karena apa? yak betul. fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.” ucap Khalif memasang wajah kelewat serius.

“kelamaan anjing.”

bukan Devin melainkan Yuda yang ikut kesal mendengar ucapan Khalif yang kelewat dramatis baginya.

Jeffreyan sih senyum-senyum aja ngeliatnya.

“lo tadi dapet apa?” tanya Khalif yang membuat kening Devin mengerut bingung.

“konteksnya apa anjing! bener bener dah lo khal, jangan ikutan Devin kalo ngomong ambiguan. Cakep kaga minta ditonjok iya.” kali ini Fahtten yang kesal gregetan sampai melayangkan toyoran di kepala Khalif. Yang ditoyor cengar-cengir kedemenan. Emang strategi Khalif ngebuat kesel temen-temennya. Jarang-jarang Khalif usil begini.

“gini lohh, pagi ini lo dapet sarapan apa? maksud gue ada yang naro makanan lagi gak kayak kemaren?” ucap Khalif serius.

“dapet, cuma satpam yang ngasih langsung.”

brakkk

“nah ituuu!!”

“bangsat bisa kan gak pake gebrak meja?? lo mau gue kena serangan jantung mendadak!!” itu Yuda yang hampir aja jantungnya loncat dari tempat dan keselek jengkol karena gak siap sama aba-aba gebrakan meja Khalif. Masalahnya doi lagi mode serius ngedengerin ceritanya sambil makan nasi uduk warjok Teteh Sanu tercinta.

“sorry-sorry hehe”

“kebanyakan intrupsi, kelas gue lima belas menit lagi ini jirr.” Jeffreyan yang dari tadi banyak diem mulai bersuara. Bukan apa-apa sih, kelas dia ada kuis hari ini dan ya lima belas menit lagi dimulainya.

“isinya bubur bukan?” tanya Khalif yang diangguki oleh Devin.

“bener berarti!” Devin mendengus kesal ingin buru-buru menyudahi percakapan yang sebenarnya gak begitu penting buat dia.

“ya allah bisa dipercepat gak ini?” gemas Jeffreyan.

“siapa orangnya?” to the point Devin.

“si Karin anak manajemen! yang ngejar-ngejar lo itu vin.”

“lah si Karin? yang satu sekolah juga kan sama kita dulu SMA?” Yuda memastikan lagi.

“iya dia” angguk Khalif.

“bentar-bentar ini lo bisa nuduh dia kenape nih? jangan-jangan cuma karena dia beli bubur juga lagi. makanya lo bersepkulasi sedemikian.” kali ini Fahtten memberikan suaranya diiringi anggukan Jeffreyan dan Yuda yang setuju. Barangkali dugaan Khalif meleset.

“ngga anjir, ini mah fix si Karin. kemaren lo dapet mentai rice sama kopi kan vin? nah paginya itu gue sempet ketemu dia di tempat yang jual mentai deket kostan kita!”

“gue liat dia bawa banyak ada kopi juga. awalnya juga gue gak mau berspekulasi kalo itu dia, soalnya kan ya bisa aja kebetulan doang lagi beli mentai sama kopi yakan. tapi pagi ini juga sama gue ketemu dia di tukang bubur perempatan, sempet gue sapa juga terus dia kayak yang buru-buru gitu.” Yuda yang lagi berusaha ngabisin semur jengkolnya jadi berhenti sejenak. Sebenernya biar ala-ala aja sih kalo dia terbawa suasana cerita padahal mah ngga ngaruh juga tuh.

“dugaan lo masih belum kuat gak sih?” celetuk Jeffreyan.

“pala lo jajar genjang! udah fix soalnya gue liat dia ngasih bubur ke satpam tadi pagi persis Devin bilang kalo kali ini satpam yang ngasih.”

“lah siapa tau pak satpam kenyang udah sarapan terus dari pada dibuang mending dikasih orang yakan?” Fahtten ikut menerka-nerka kemungkinan.

“terus kebetulan yang ada di depan mata pak satpam si Devin.” imbuh Jeffreyan.

Devin yang malas mengeluarkan pendapatnya cuma membiarkan dirinya bergelut sendiri dengan pikirannya.

“lah logika kenapa harus Devin?” sangkal Khalif.

“ya karena emang kebetulan adanya Devin.” balas Jeffreyan.

“ya allah ribet banget anjing perkara makanan doang.” Yuda geleng-geleng kepala sendiri sambil terus menghayati nikmatnya makan jengkol buatan Teteh Sani. edunn gak ada lawan!

“gue cabut, bentar lagi kelas.” pamit Devin meninggalkan keempat dari mereka.

“anjing vin tungguin!!! ya allah anak setan jengkol gue belom abis vinnnn!!” teriak Yuda yang emang satu jurusan dengan Devin.

“gue juga cabut deh, ada kuis.” pamit Jeffreyan berlari menyusul Devin diikuti Fahtten selanjutnya.

“cabut bro” ucap Fahtten menepuk pundak kedua sahabatnya.

Yuda melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 09.35 yang artinya kelasnya sudah dimulai sejak lima menit yang lalu. Buru-buru Yuda menyelesaikan makannya.

“anjirlah telat”

“teh kasbon dulu nya? teu nanaonan kan? buru-buru nih teh udah telat.” ucap Yuda grasak grusuk sendiri. Teh Sani yang udah biasa di kasbonin Yuda cuma geleng-geleng acungin jempol. nu penting mah ulah kabur aja. kalo ngga teflon Teh Sani melayang.

“Khal lo gak kelas???” teriak Yuda sembari berlari membelakangi Khalif.

“Jam 10.” teriak Khalif.

“gunanya gue cerita apaan ya?” gumamnya pada diri sendiri.

“tau ah anjir yang penting gue udah kasih tau.”


Setelah mendapat pesan singkat dari sahabatnya Khalif, Devin merapihkan beberapa buku yang belum sempat dibacanya kedalam ransel pun segera bergegas meninggalkan fakultasnya menuju tempat ‘biasa’ yang dimaksud oleh Khalif.

Rasa penasaran laki-laki itu kini meningkat setelah mengetahui sang sahabat berhasil mencari tau siapa dalang dibalik mystery food yang selalu didapatinya setiap pagi hari. Bagi Devin sebenarnya tidak begitu penting untuk tau siapa orangnya, hanya saja menurut laki-laki itu terasa aneh. Untuk apa orang tersebut berbaik hati memberinya sarapan setiap hari? sedangkan Devin mungkin tidak mengenalnya dan berbaik hati pada setiap orang.

Tepat disisi kanan pojok segerombol mahasiswa terlihat tengah duduk dan bercanda satu sama lain. Beberapa mahasiswa lainnya itu tentu Devin sangat kenal, ada Khalif, Fahtten, Jeffreyan serta Yuda yang sudah menunggunya disana. Seperti biasa kelimanya berkumpul di tempat yang mereka sebut Warung Pojok.

Yuda yang menyadari kehadiran Devin melambaikan tangannya memberi isyarat untuk cepat-cepat menghampiri mereka, membuat Devin sedikit berlari kecil kearahnya.

“lama dah lo vin.” celetuk Fahtten menyesapkan tembakaunya ke udara.

“kaki gue cuma dua kalo lo lupa.” ketus Devin berhasil membuat Fahtten elus dada. Gak dimana mana laki-laki yang sudah bertahun-tahun menjadi cees kentelnya itu selalu bersikap ketus bin judes. Meskipun Fahtten tau Devin memiliki sisi lain yang hanya bisa dilihat oleh sahabat-sahabatnya itu.

“to the point aja deh khal…” todongnya.

“weits gak sabaran amat pak.”

“kelas gue satu jam lagi anjir…” dengus Devin.

“bentar gue mau pastiin sesuatu dulu supaya praduga gue ini tidak menjadikan fitnah, karena apa? yak betul. fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.” ucap Khalif memasang wajah kelewat serius.

“kelamaan anjing.”

bukan Devin melainkan Yuda yang ikut kesal mendengar ucapan Khalif yang kelewat dramatis baginya.

Jeffreyan sih senyum-senyum aja ngeliatnya.

“lo tadi dapet apa?” tanya Khalif yang membuat kening Devin mengerut bingung.

“konteksnya apa anjing! bener bener dah lo khal, jangan ikutan Devin kalo ngomong ambiguan. Cakep kaga minta ditonjok iya.” kali ini Fahtten yang kesal gregetan sampai melayangkan toyoran di kepala Khalif. Yang ditoyor cengar-cengir kedemenan. Emang strategi Khalif ngebuat kesel temen-temennya. Jarang-jarang Khalif usil begini.

“gini lohh, pagi ini lo dapet sarapan apa? maksud gue ada yang naro makanan lagi gak kayak kemaren?” ucap Khalif serius.

“dapet, cuma satpam yang ngasih langsung.”

brakkk

“nah ituuu!!”

“bangsat bisa kan gak pake gebrak meja?? lo mau gue kena serangan jantung mendadak!!” itu Yuda yang hampir aja jantungnya loncat dari tempat dan keselek jengkol karena gak siap sama aba-aba gebrakan meja Khalif. Masalahnya doi lagi mode serius ngedengerin ceritanya sambil makan nasi uduk warjok Teteh Sanu tercinta.

“sorry-sorry hehe”

“kebanyakan intrupsi, kelas gue lima belas menit lagi ini jirr.” Jeffreyan yang dari tadi banyak diem mulai bersuara. Bukan apa-apa sih, kelas dia ada kuis hari ini dan ya lima belas menit lagi dimulainya.

“isinya bubur bukan?” tanya Khalif yang diangguki oleh Devin.

“bener berarti!” Devin mendengus kesal ingin buru-buru menyudahi percakapan yang sebenarnya gak begitu penting buat dia.

“ya allah bisa dipercepat gak ini?” gemas Jeffreyan.

“siapa orangnya?” to the point Devin.

“si Karin anak manajemen! yang ngejar-ngejar lo itu vin.”

“lah si Karin? yang satu sekolah juga kan sama kita dulu SMA?” Yuda memastikan lagi.

“iya dia” angguk Khalif.

“bentar-bentar ini lo bisa nuduh dia kenape nih? jangan-jangan cuma karena dia beli bubur juga lagi. makanya lo bersepkulasi sedemikian.” kali ini Fahtten memberikan suaranya diiringi anggukan Jeffreyan dan Yuda yang setuju. Barangkali dugaan Khalif meleset.

“ngga anjir, ini mah fix si Karin. kemaren lo dapet mentai rice sama kopi kan vin? nah paginya itu gue sempet ketemu dia di tempat yang jual mentai deket kostan kita!”

“gue liat dia bawa banyak ada kopi juga. awalnya juga gue gak mau berspekulasi kalo itu dia, soalnya kan ya bisa aja kebetulan doang lagi beli mentai sama kopi yakan. tapi pagi ini juga sama gue ketemu dia di tukang bubur perempatan, sempet gue sapa juga terus dia kayak yang buru-buru gitu.” Yuda yang lagi berusaha ngabisin semur jengkolnya jadi berhenti sejenak. Sebenernya biar ala-ala aja sih kalo dia terbawa suasana cerita padahal mah ngga ngaruh juga tuh.

“dugaan lo masih belum kuat gak sih?” celetuk Jeffreyan.

“pala lo jajar genjang! udah fix soalnya gue liat dia ngasih bubur ke satpam tadi pagi persis Devin bilang kalo kali ini satpam yang ngasih.”

“lah siapa tau pak satpam kenyang udah sarapan terus dari pada dibuang mending dikasih orang yakan?” Fahtten ikut menerka-nerka kemungkinan.

“terus kebetulan yang ada di depan mata pak satpam si Devin.” imbuh Jeffreyan.

Devin yang malas mengeluarkan pendapatnya cuma membiarkan dirinya bergelut sendiri dengan pikirannya.

“lah logika kenapa harus Devin?” sangkal Khalif.

“ya karena emang kebetulan adanya Devin.” balas Jeffreyan.

“ya allah ribet banget anjing perkara makanan doang.” Yuda geleng-geleng kepala sendiri sambil terus menghayati nikmatnya makan jengkol buatan Teteh Sani. edunn gak ada lawan!

“gue cabut, bentar lagi kelas.” pamit Devin meninggalkan keempat dari mereka.

“anjing vin tungguin!!! ya allah anak setan jengkol gue belom abis vinnnn!!” teriak Yuda yang emang satu jurusan dengan Devin.

“gue juga cabut deh, ada kuis.” pamit Jeffreyan berlari menyusul Devin diikuti Fahtten selanjutnya.

“cabut bro” ucap Fahtten menepuk pundak kedua sahabatnya.

Yuda melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 09.35 yang artinya kelasnya sudah dimulai sejak lima menit yang lalu. Buru-buru Yuda menyelesaikan makannya.

“anjirlah telat”

“teh kasbon dulu nya? teu nanaonan kan? buru-buru nih teh udah telat.” ucap Yuda grasak grusuk sendiri. Teh Sani yang udah biasa di kasbonin Yuda cuma geleng-geleng acungin jempol. nu penting mah ulah kabur aja. kalo ngga teflon Teh Sani melayang.

“Khal lo gak kelas???” teriak Yuda sembari berlari membelakangi Khalif.

“Jam 10.” teriak Khalif.

“gunanya gue cerita apaan ya?” gumamnya pada diri sendiri.

“tau ah anjir yang penting gue udah kasih tau.”

—-