Potongan Puzzle
Juna menepati janjinya, dan disinilah keduanya sekarang. Setelah canggung untuk beberapa saat, akhirnya Arin memilih mengalah dan berusaha melupakan kejadian hari kemarin.
“Happy?” tanya Juna melirik gadisnya. Yang dilirik mengangguk, membuat Juna semakin lekat mengenggam jemari sang pacar.
Singkatnya mereka berdua sudah kenyang mengisi perut, di salah satu restoran jepang favorite keduanya.
Sekarang baik Arin dan Juna sedang berjalan menuju basement, tempat mobil Juna terparkir cantik untuk beberapa saat.
Tujuan mereka sudah pasti pulang setelah perut kenyang.
Juna membukakan pintu mobil untuk Arin, bukan hal baru bagi Arin di perlakukan demikian oleh sang pacar. Arjuna memang begitu, selalu menjadikannya ratu tanpa di minta.
“Eh bentar deh, perasaan tadi kita beli chigo kok gak ada ya? kamu yang pegang kan?” Arin celingukan sendiri, melihat ke belakang mobil, bingkisan berwarna kuning mentereng itu tidak terlihat di belanjaan mereka.
Juna yang menyadari sesuatu langsung menepuk jidatnya.
“Kayaknya ketinggalan deh pas selesai bayar, aku tadi sempet ngerapihin belanjaan yang lain, malah jadi lupa kebawa…” jelas Juna mengingat-ingat.
Arin berdecak sebal, namun tidak banyak bicara kali ini.
“Yaudah kamu tunggu disini aja, aku balik ke dalem ambil makanannya.” ucap Juna bergegas turun dari mobilnya. Laki-laki berdarah chinese itu sedikit berlari mempercepat langkahnya.
Sementara Arin hanya melirik ke arah Juna sampai laki-laki itu menghilang dari pandangannya.
Untuk mengusir kebosanannya di dalam mobil, Arin memutar playlist favoritnya di mobil.
“Duh muka gue kumel banget sih disini” keluhnya saat mengaca di layar ponselnya.
Tangan lentiknya mencari sesuatu yang lupa diletakannya.
“Pouch make up gue ditaro mana ya?” gumamnya bertanya pada diri sendiri. Perempuan memang selalu begitu ya? padahal tau tujuan terakhirnya sudah mau pulang, tapi menjadi cantik tetap nomor satu.
Saat sedang mencari benda kepemilikannya, pandangan Arin jatuh pada dashboard mobil di depannya.
Arin menemukan sesuatu hal yang menarik mata cantiknya untuk penasaran, sebuah map cokelat Arin dapatkan disana.
“Apaan ya?”
Karena rasa penasarannya, Arin membuka perlahan map yang kini sudah berpindah ke tangannya.
Air muka gadis berambut panjang itu berubah drastis, tak pasti apa yang barusan dilihatnya sampai mengeluarkan ekspresi yang sulit ditebak.
“Hah…”
“Punya siapa??…” lirihnya.
Tubuh gadis itu seolah membeku di tempat, setengah tak percaya pada apa yang ia temukan barusan.
Pikiran Arin langsung melalang buana, tak mampu berpikir jernih. Apa-apa yang ada di kepalanya seolah menyerbu gadis itu untuk membuat praduga yang belum tentu benar.
Matanya terasa panas seketika, jantungnya berdegup tak karuan. Meski alasannya belum jelas, Arin ingin menangis sejadi-jadinya, dia hanya takut, takut sekali jika semua dugaannya adalah benar.
Sepanjang perjalanan pulang Arin nampak terlihat lebih diam dan hal itu tentu membuat Juna merasa tak nyaman. Ada apalagi pikirnya? Seingat Juna, keduanya sudah berbaikan.
“Kamu kenapa sayang?” tanya Arjuna, yang ternyata tidak di dengar dengan baik oleh kekasihnya.
“Sayang??”
“Eh— kenapa-kenapa?” kagetnya.
“Aku tanya kamu kenapa? ada yang kamu pikirin? dari tadi aku notice kamu banyak diem, maksud aku, bukan aku ngelarang kamu diem, tapi diem kamu tadi beda aja vibesnya” jelas Juna.
“Aku— ngga aku gapapa, emang lagi gak mood aja kali…” alibinya.
“Aku tau kalo kamu lagi bohong, tapi aku gak akan maksa kamu untuk cerita kalo memang kamu belum mau cerita…” kata Juna yang bagi Arin kekasihnya ini selalu berhasil menenangkan hatinya yang kalut, tapi emang semudah itu ya air muka Arin terbaca jelas?
Arin menelan ludahnya susah payah, gadis itu tak memiliki keberanian untuk menanyakan hal yang sedari tadi menganggu pikirannya. Arin hanya tidak siap dengan jawaban yang bisa saja berbeda dengan expetasinya.