Pulang
Pada akhirnya Arin menurut, walaupun sejujurnya gadis itu takut dengan Willdan. Yang bagi dirinya Willdan masih seperti orang asing.
Arin tak banyak bicara, begitupun Willdan yang juga banyak diam dan hanya fokus pada jalan. Pandangan Arin jatuh pada kaca mobil disampingnya, enggan melirik ke arah lain.
Sesekali Arin melirik layar ponselnya, dan Juna yang masih belum memberikan tanda atau kabar apapun untuknya. Bukan sekali Arin merasa diperlakukan sesuka hati seperti ini karena Juna.
Entahlah, mungkin karena Juna harus membagi waktunya dengan wanita yang dihamilinya? Arin sendiri juga tidak mau berspekulasi macam-macam. Atau alasan klasik pekerjaan yang selalu Juna andalkan.
“Arjuna…” lirih Arin membelalakan matanya seketika saat tak sengaja indera penglihatannya menangkap sosok yang dikenalnya.
“Berhenti-berhenti dehh…” pinta Arin menepuk pundak Willdan.
“Kenapa?” tanya Willdan.
“Gue bilang berhenti anjirr!” ucap Arin dengan nada tinggi, Willdan menurut dan menepikan mobilnya sesaat.
Lekat-lekat Arin menatap sosok laki-laki yang dikenalnya kini tengah jalan bersama wanita lain, yang besar kemungkinan adalah wanita yang dihamili kekasihnya.
“Brengsek!” Arin turun dari mobil, diikuti Willdan yang juga turun. Arin ingin mengejar Juna, namun Juna sudah lebih dulu masuk kedalam mobil dan menancapkan gas.
“Arjunaaa!!!” teriak Arin yang tentunya tidak akan didengar oleh sang pemilik nama.
Arin mengusap wajahnya frustasi, gadis itu berjongkok menangis. Seolah energynya hari ini terkuras habis sampai untuk menopang tubuhnya sendiri pun rasanya Arin tak sanggup.
Sementara Willdan, tak ada banyak hal yang bisa ia lakukan. Laki-laki itu tak mau terlalu ikut campur dengan urusan pribadi Arin.
Willdan menghampiri Arin yang terduduk, kedua tangannya mengangkat bahu Arin agar gadis itu berdiri tegak.
“Ayo pulang” ajak Willdan namun Arin menggeleng sesegukan.
“Gue mau ketemu Juna…”
Willdan membuang nafasnya berat, “Cowok lo lagi sama cewek lain…” katanya yang makin memperburuk suasana hati Arin.
“Listen, he don’t deserve you”
“Lo ngga tau apa-apa! jadi please— simpen opini lo tentang cowok gue…” bela Arin.
“Ck, lo sesayang itu? lo ngga buta sama barusan apa yang lo liat? oke, gue tarik kesimpulan. Jangan-jangan di cafe tadi tuh lo harusnya ketemu sama cowok lo? tapi malah gak dateng, taunya lagi asik sama yang lain…”
Arin menatap tak suka kearah Willdan, tak terima kekasihnya disudutkan walaupun hati kecilnya mengatakan ucapan Willdan bisa sepenuhnya benar begitu adanya.
Willdan meraih pergelangan tangan Arin lembut, “Sekarang pulang, istirahat.”
Pada akhirnya Arin kembali luluh menuruti Willdan, meskipun perasaannya sangat kacau tak karuan. Namun Arin juga tidak bisa berbuat banyak.
Hubungannya dengan Juna benar-benar sedang diuji. Belum usai masalah kemarin, tumbuh masalah lainnya yang menghampiri.
Willdan tepat berada didepan rumah Arin, berbekal maps dan alamat rumah yang Arin sendiri bahkan tidak memberitahu sedikitpun pada Willdan.
Pikiran gadis itu terlalu penuh, sampai untuk memikirkan bagaimana Willdan bisa mendapati nomor hp dan alamat rumahnya Arin rasa tidak memiliki waktu untuk itu.
Arin turun dari mobil tanpa sepatah kata pun, mengabaikan Willdan yang juga ikut turun. Sebelum Arin benar-benar masuk, lengannya ditahan oleh Willdan. Entah apalagi yang Willdan inginkan dari Arin.
Kali ini respon Arin biasa saja, gadis itu menoleh, alisnya mentaut seolah meminta penjelasan. Barangkali energynya memang benar sudah terkuras habis karena menangisi Arjuna.
“Buka blokirannya” ucap Willdan buka suara.
“Ya” jawab Arin singkat.
“Sekarang”
Arin tidak punya tenaga untuk berdebat dengan laki-laki dihadapannya, meskipun Arin ingin sekali menampar Willdan dengan teflon miliknya di dapur.
Arin mengambil ponselnya dari dalam tas, tangan lentiknya lihai membuka aplikasi chatting berwarna hijau.
Arin langsung menunjukan kolom room chat miliknya dengan Willdan.
“Udah kan?” ucapnya datar, namun entah hal lucu apa yang membuat Willdan sedikit tertawa.
Arin enggan memperdulikannya, lengan gadis itu kembali ditarik saat hendak masuk. Willdan membawa Arin kedalam pelukannya.
Arin sempat memberontak, sebelum akhirnya gadis itu menyerah tak bertenaga.
“Sebentar” kata Willdan.
Jujur, Arin merasakan kenyamanan tersendiri. Mungkin karena suasana hatinya yang naik turun, sehingga rasanya Arin butuh support system lain.
“Sekarang lo boleh masuk.” kata Willdan yang masih menatap dalam kedua manik cantik gadis didepannya.
Untuk beberapa saat Arin membeku, tersihir pesona Willdan yang memang tidak bisa Arin tolak sedari awal pertemuannya dengan Willdan.
Arin hanya menatapnya sebentar lalu pergi berlalu meninggalkan Willdan, sementara laki-laki itu membiarkan kedua manik tajamnya menatap Arin hingga benar-benar menghilang dari pandangannya.