Pergi
Arin mematikan ponselnya setelah berdebat dengan Juna, perasaan gadis itu kacau bukan main. Yang tidak dia harapkan justru adalah pil pahit yang harus ia telan. Arin sendiri bingung bagaimana mendeskripsikan perasaannya, bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Juna pun masih terlihat semu.
Arin tidak ingin percaya, ia berharap ini hanya mimpinya di siang bolong. Tapi terlalu nyata untuk disangkal.
Bohong jika Arin tidak menangis, justru sekarang tangisnya ia keluarkan sekencang-kencangnya. Persetan dengan omongan tetangga yang akan mengecapnya sebagai wanita gila, luapan amarahnya jauh lebih penting.
Setelah puas dengan tangisnya, Arin berusaha mengontrol kembali emosi dalam dirinya. Mengatur nafasnya agar tak begitu sesak, Arin melirik bingkai foto yang terpampang jelas diatas nakasnya.
Menampilkan foto Juna dan dirinya yang sedang tersenyum bahagia, lagi-lagi Arin tidak sanggup untuk menahan air matanya agar tak kembali jatuh membasahi pipi chubbynya.
“Kenapa kamu sih Jun?” lirihnya parau.
“Kenapa kamu tega giniin aku?”
“Aku salah apa Jun…”
“Apa yang kurang dari aku? sampai kamu bisa sejauh ini?”
“Gimana sama aku Arjuna…” Arin terus merancau tak karuan, pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan yang belum menemukan jawabannya.
Arin bingung, kelewat bingung harus memposisikan dirinya seperti apa. Arin marah tetapi rasa cintanya pada Juna begitu besar sampai Arin merasa dirinya lah yang bersalah atas kejadian ini.
Meskipun Juna belum menjelaskan detailnya, Arin bersikeras tidak mau mendengar alasan apapun dari Juna, Arin menjaga perasaannya sendiri. Apapun alasan Juna tentu tidak akan bisa diterima oleh Arin sendiri.
“Gue bingung banget harus cerita ini ke siapa…”
“Lo brengsek banget Jun…” monolog Arin lagi.
Arin merampas kunci mobilnya, sekarang sudah pukul satu dini hari. Arin ingin mencari udara segar, entah kemana kaki gadis itu membawanya melangkah. Arin hanya tak ingin berdiam diri dan merasa mengkasihani dirinya sepanjang malam.