Map Cokelat

Setelah dua hari Arin memberi sinyal perang dingin antara keduanya kini mereka sudah kembali baik-baik saja.

Setelah selesai dari sushi’s date, dan berbelanja keperluan lainnya, Arin dan Juna memutuskan untuk pulang.

“Happy?” tanya Juna tersenyum melirik kekasih yang sudah 2 tahun di pacarinya. Arin merespon megangguk, membuat Juna semakin mengenggam erat jemari gadisnya seolah tak ingin genggaman tangannya dilepaskan begitu saja.

Tak lupa, Juna memberi kecupan lembut di pundak tangan Arin.

Membuat bulu bulu halus di tubuh Arin meremang, kegirangan.

Keduanya kini berjalan beriringan menuju basement, tempat dimana mobil Arjuna terparkir untuk beberapa waktu.

Juna membukakan pintu untuk Arin, hal yang selalu rutin ia lakukan kepada Arin.

Bagi Arin hal itu terlihat sepele tapi sangat bermakna untuknya. Ya, Arjuna. Dia laki-laki yang selalu menjadikannya ratu tanpa diminta.

“Eh bentar deh, tadi kita beli chigo kan? kok ngga ada? bukannya kamu yang pegang kan tadi?” ucap Arin yang sadar saat melihat belanjaan di kursi belakang seperti ada yang kurang.

Bingkisan berwana kuning mentereng itu tidak terlihat dideretan belanjaan mereka.

Juna yang sadar dan mengingat suatu hal yang ia lupakan, menepuk jidatnya sesaat.

“Astaga! kayaknya ketinggalan deh pas selesai bayar, aku sempet ngerapihin belanjaan terus kayaknya aku malah ninggalin itu di meja…” kata Juna mengingat-ingat.

Arin hanya mendengus sebal, gadis itu tidak marah, hanya sedikit bete saat tau chicken favoritenya tertinggal begitu saja.

“Yaudah kamu tunggu disini aja, aku masuk lagi ke dalem ambil si chigo ya?” ucap Juna yang diberi anggukan oleh sang kekasih.

Juna turun kembali dari mobilnya, laki-laki itu berlari kecil untuk cepat-cepat sampai kedalam.

Sementara Arin hanya memperhatikan Juna dari dalam sampai laki-laki itu benar-benar menghilang dari pandangannya.

Selagi menunggu Juna kembali, Arin menyalakan playlist favoritenya. Gadis itu bergumam menyanyikan beberapa lirik yang di hafalnya.

“Kok gue dekil banget sihhh??” gumamnya saat melihat wajahnya di kaca.

“Touch up deh” imbuhnya lagi. Perempuan memang begitu ya? padahal tau tujuan terakhirnya adalah pulang, namun terlihat tetap cantik menjadi nomor satu.

Arin langsung sibuk mencari pouch make up nya yang dilupakannya entah ia letakan dimana.

Arin menjelajahi tempat-tempat yang memiliki kemungkinan pouch make up nya ada disana.

Arin mencoba memeriksa dashboard mobil Juna, barang kali ia lupa meletakannya disana.

Namun atensi gadis itu langsung teralihkan, pandangan Arin jatuh pada map cokelat yang membuat rasa keingintahuannya meningkat seketika.

Kepo dengan isinya, kini map cokelat itu sudah berpindah di tangan Arin.

Arin membuka map cokelat itu, air muka Arin terlihat berubah 180°. Entah hal apa yang membuatnya tiba-tiba mengubah ekspresinya seketika, setelah melihat isi map cokelat yang ada di tangannya.

Ekspresi wajah Arin sulit untuk di gambarkan, gadis itu terlihat shock.

Jantung Arin berdetak dua kali lipat lebih cepat, dadanya tiba-tiba terasa sesak tak tau apa penyebabnya.

“Hah?”

“Punya siapa???” lirihnya.

Pikiran Arin kalut bukan main, Arin berusaha menahan air matanya untuk tidak turun. Gadis itu tidak mampu menyembunyikan perasaannya yang berantakan seketika.

Arin tidak bisa berpikir dengan jernih setelah melihat isi map cokelat yang ditemuinya, otak gadis itu dipenuhi dengan berbagai spekulasi terburuk sampai tubuh gadis itu bergetar.

Arin tidak memiliki keberanian untuk semua yang hari ini ia lihat.


Sepanjang perjalan pulang, Arin terlihat banyak diam dan tentu itu dirasakan Juna, Juna terlalu peka untuk tidak tau perubahan mendadak kekasihnya itu yang banyak diam.

Juna pikir keduanya sudah berbaikan, jadi hal apalagi yang membuat gadisnya itu terlihat diam.

“Sayang” panggilnya yang tidak dapat respon dari Arin.

Arin sibuk melempar pandangan kosongnya pada jalanan hampa di kaca mobil Juna.

“Sayang kamu kenapa?” tanya Juna sekali lagi, namun Arin masih belum menyadarinya.

“Karin Adisty Gwennie” panggil Arjuna menyebut nama lengkap Arin.

“Eh— iya kenapa jun?” jawab Arin terlihat gagap seketika.

Juna tidak bodoh untuk tidak mengetahui kejanggalan yang ia rasakan setelah dirinya sempat kembali ke dalam Mall, Juna merasakan perubahaan situasi antara dirinya dan sang kekasih.

“Kamu kenapa, dari tadi aku liat kamu banyak diem, aku ada salah lagi ya?” tanyanya.

Arin menggeleng cepat, “Ngga kok, aku gapapa, aku cuma lagi tiba-tiba gak mood aja…” bohongnya yang tentu terlalu mudah dibaca oleh Juna.

Kekasihnya terlalu kentara untuk berbohong, Juna tau ada hal yang berusaha Arin tutupi darinya.

“Aku tau kamu bohong, gapapa kalo kamu ngga mau cerita sekarang, aku ngga akan maksa… tapi aku minta untuk ngga memendam segala sesuatunya sendiri ya?” ucap Juna.

Ah, laki-laki itu tak pernah gagal untuk memberinya kalimat penenang paling ampuh.

“Are u okay?” tanya Juna memastikan sekali lagi.

“I’m okay Jun…” tentu bukan itu jawaban yang ingin Juna dengar, namun Juna juga tidak bisa memaksakan Arin kekasihnya.

“Okay” balas Juna, jemari Arin kembali ia genggam dengan erat, dengan tangan satunya lagi yang fokus pada stir mobil.

Juna juga tak lelah untuk melemparkan senyum pada gadisnya. Meskipun Juna tau ada hal yang menganggu pikiran gadis itu yang Juna sendiri tidak mengerti.

Arin terlalu takut, Arin terlalu tidak memiliki keberanian untuk sekedar bertanya. Gadis itu takut jika kemungkinan terburuknya adalah hal yang sebenarnya dibanding hal yang mungkin belum tentu seperti dugaannya.