Bertemu
Setelah selesai dengan urusan dunia perkampusan, Arin memutuskan beristirahat sejenak, Arin menjatuhkan tubuh idealnya ke atas kasur, memejamkan matanya untuk beberapa saat. Setelah waktu paginya ia habiskan dengan jadwal kelas online yang padat. Otaknya perlu beristirahat. Beruntungnya tidak ada jadwal kelas lagi setelah ini sampai malam hari.
Semester akhir, yang kata banyak orang adalah semester yang menakutkan, melelahkan bahkan sebagian hampir ingin menyerah dan putus ditengah jalan.
Arin sendiri sedang memulai menyicil tugas akhir syarat kelulusan, ya, skripsi. Seperti kebanyakan orang tau.
Melupakan sejenak tentang bagaimana Arin dengan dunia perkuliahannya, kini pikiran gadis itu melayang pada sosok laki-laki yang dua tahun ini sudah menjadi pemanis hari-harinya. Siapa lagi kalau bukan Arjuna, sang kekasih hati.
Nanti sore Arin akan bertemu dengan Juna seperti yang sudah dijadwalkan, setelah pertengkaran panjang malam itu Arin mencoba bergulat dengan pikirannya sendiri.
Berusaha menetralkan perasaan marahnya pada Juna untuk beberapa waktu demi arah hubungan keduanya, yang saat ini bagi Arin pun ia tidak tau akan berakhir kemana.
Berat untuk Arin menerimanya, menerima fakta bahwa kekasihnya itu benar-benar melakukan hal yang diluar dari dugaannya.
“Bakal canggung gak ya gue ketemu dia?” gumam Arin menatap langit-langit kamarnya. Arin menghela nafasnya dalam, pelupuk matanya basah entah sejak kapan.
Perasaan kecewa itu hadir kembali saat Arin mencoba mengingat kembali kejadian malam itu.
Kalau saja Arin tidak membuka dashboard mobil Juna, kalau saja Arin tidak sibuk mencari pouch make up miliknya mungkin sampai saat ini ia tidak akan tau fakta itu.
Arin hanya tidak ingin kehilangan kekasihnya, kekasih yang dua tahun terakhir masih ia cintai dengan perasaan yang masih sama merekahnya.
Pikiran gadis itu jauh melambung, saat membayangkan rencana-rencana indahnya dengan Arjuna mungkin akan patah begitu saja.
Bertemu,
Arin melirik jam di atas nakas, menunjukan pukul empat sore. Gadis dengan balutan kaos hoodie merah muda itu pun bangkit dari tidurnya. Ya, Arin tidak sengaja ketiduran di tengah-tengah tangisnya tadi siang.
Arin meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur, mengecheck beberapa pesan yang masuk di ponselnya.
Junaaa🧸🤍 : jangan lupa, di cafe biasa ya sayang…
Arin menghela nafasnya panjang, dirinya tiba-tiba ragu untuk bertemu Juna. Padahal Arin jelas sangat merindukan laki-laki itu.
Mengusir rasa keraguannya Arin segera bergegas menuju kamar mandi, tak butuh waktu lama sampai gadis itu kini sudah cantik dengan balutan dress dengan motif coral yang kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai indah. Sementara wajahnya hanya ia poles tipis tipis dengan make up seadanya. Arin juga membawa coat sebagai antisipasi cuaca yang sering labil.
Selesai dengan dirinya, Arin memilih memesan ojek online sebagai transportasi. Butuh sekitar 30 menit untuk sampai di cafe yang sering Arin dan Juna jadikan tempat comfort date keduanya.
Sampai disana Arin masih harus menunggu Juna yang katanya sedang dalam perjalanan.
15 menit berlalu, Arin semakin tak karuan menunggu Juna yang belum menunjukan batang hidungnya. Sedangkan langit senja mulai meninggalkan warnanya.
“Mas!!” Panggil Arin pada salah satu waiter di cafe.
“Iya mbak? ada yang bisa dibantu?”
Arin menggeleng, “Anu, saya mau keluar sebentar tapi makanannya jangan diberesin… saya masih nunggu orang…” kata Arin.
“Oh iya iya siap mbak, nanti saya ambilkan table reservasinya biar ngga di clear up sama waiter lain.” ucap sang waiter ramah.
Arin berjalan menuruni anak tangga sedikit tergesah-gesah, sampai bahunya tak sengaja menyenggol sesama pengunjung di cafe tersebut dan ya, dress yang Arin kenakan sedikit terkena cipratan kopi yang sedang dibawa.
“Hati-hati dong…” ketusnya sebal.
“Ck, lo yang nabrak kenapa gue yang harus hati-hati?” ucap si pemilik suara bariton.
Arin masih menunduk memperhatikan dress yang dikenakannya terkena cipratan kopi dan langsung menoleh ke sumber suara.
Kedua alis Arin mentaut, sementara lawan bicara dihadapannya memberikan ekspresi yang sulit Arin tebak.
“Wah ngga nyangka bakal ketemu lo disini…” ucap si pemilik suara bariton yang tak lain orang yang Arin kenal. Arwilldan.
Arin merubah ekspesinya dengan tatapan tidak menyenangkan, kenapa juga dia harus bertemu dengan Willdan di waktu yang seperti ini. Arin tak memperdulikan ucapan Willdan dan memilih melenggang pergi, namun tangan Willdan lebih cepat merespon pergerakan Arin dan tangan gadis itu ditahan.
“Mau kemana?” tanya Willdan.
“Ck, lepasin gak?” ketus Arin menatap tajam ke arah Willdan. Yang ditatap malah menyimpulkan tawa.
“Galak ya?”
Arin memutar kedua bola matanya malas, begitu ada kesempatan Arin langsung menghentakan tangan Willdan agar melepaskan genggamannya. Dan pergi berlalu dari hadapan laki-laki tersebut.
Willdan tidak mengejarnya, ia hanya memperhatikan Arin dari jauh sampai menghilang dari pandangannya. Ya, dia tidak seterobsesi itu pada Arin. Tapi feeling laki-laki itu kuat jika gadis itu mungkin akan kembali lagi.
Arin mencoba menghubungi Juna lewat telepon, namun nihil tak ada jawaban dari sang kekasih. Arin terduduk di taman depan cafe, indera penglihatannya melirik kesana kemari mencari sosok Juna sampai gadis itu jengah sendiri.
“Brengsek!” gumamnya tipis.
Arin kembali masuk ke dalam cafe dengan raut wajah yang sudah dapat dipastikan sangat kecewa.
“Mas di take away aja semuanya…” ucap Arin pada sang waiter, yang langsung di respon anggukan. Sang waiter langsung membawa kembali beberapa makanan yang sudah tersaji di meja.
Arin menenggelamkan wajahnya, isak tangisnya tak bisa ia bendung. Dan hal ini membuat atensi laki-laki dengan sorot matanya yang tajam teralihkan.
Tebakan Willdan memang benar, Arin kembali tetapi tidak dengan moodnya yang membaik.
Willdan tidak ragu untuk menghampiri meja gadis yang sejak awal pertemuan menarik perhatiannya.
“Hey… lo nangis kenapa?” tanyanya lembut. Pertanyaan Willdan justru semakin membuat tangis Arin meledak, dengan Arin yang enggan menjawab pertanyaan Willdan.
“Ssttt… lo kayak yang di apa-apain aja sama gue…”
“Jangan nangis please…” pinta Willdan yang mendapat tatapan aneh dari beberapa pengunjung cafe disana.
“Berisik tau gak lo!!” bentak Arin.
“Lo mending pergi!! gue gak pengen diganggu! gak ada yang nyuruh lo duduk disini ya!!” lanjutnya memaki Willdan.
Willdan menghela nafasnya berat, uluh hatinya sedikit nyeri ketika Arin mengucapkan hal itu barusan dengan lantang di depannya. Masa sih seorang Willdan ditolak? Penghinaan bagi Willdan, karena tidak ada sejarahnya ia ditolak oleh gadis manapun. Dan Arin adalah gadis pertama yang berhasil menolak pesona seorang Willdan.
Tapi bukan Willdan namanya jika ia menyerah sekarang.
Setelah waiter datang kembali mengantarkan bingkisan take away milik Arin, gadis itu langsung beranjak pergi. Sementara langkah Willdan mengekori gadis tersebut. Peduli setan dengan tujuan awal laki-laki itu untuk mengecheck beberapa berkas penting di kantornya serta menghirup udara segar diluar rumah.
Rasa penasaran pada Arin lebih mendominasi dalam dirinya.
“Arinn!!” panggil Willdan, yang dipanggil menoleh dengan wajahnya yang memerah karena menangis.
“Lo mau apasih?” tanyanya.
“Mau lo!” jawab Willdan sekenanya. Membuat Arin bergidik ngeri dibuatnya.
“Freak dasar!”
Tangannya kembali ditahan Willdan, “Gue anter pulang…” kata Willdan.
“Ck! gue gak butuh tumpangan! lo jangan dramatis gini deh!” tolak Arin.
“Siapa yang dramatis? gue cuma nawarin.” balas Willdan tak terima.
“Tapi gue gak butuh!”
“Keras kepala…”
“Ayo!” ucap Willdan tanpa permisi menarik paksa Arin masuk kedalam mobilnya.
“Sumpah lo gak waras ya?!!” berontak Arin yang berusaha membuka pintu mobil Willdan.
“Sssttt… berisik! gue cuma mau nganter lo pulang udah” kata Willdan menatap kesal ke arah Arin.
“Lo mau pulang kan? yaudah gue anter. Gue gak tau lo hari ini kenapa, sampe nangis gak jelas kayak tadi. Jadi biarin gue anter lo pulang, niat gue cuma itu ngga lebih dan gak usah mikir aneh-aneh tentang gue di otak lo itu.” ucap Willdan menyelesaikan kalimatnya, Arin sempat memperhatikan Willdan yang berbicara dengannya namun tak lama gadis itu membuang pandangannya acuh pada Willdan.